Dalam kepungan sawit dan ancaman penambang emas, Wehea tetaplah jelita. Kesuciannya terjaga, bukan karena negara melindunginya, tetapi karena hukum adat Wehea yang dijunjung tinggi. Rabu itu, 26 Juli 2017, jadilah kami bertemu Wehea. Adalah bu Jasmine, sahabat saya dari Jakarta, yang sejak awal bertekad kuat untuk menjenguk Wehea. Tapi tak mudah mencuri waktu di sela kegiatan assessment yang harus kami kawal. Maka, ketika peluang itu ada, tak kami sia-siakan. Dengan ditemani Carles, driver yang lincah, bertiga kami meluncur, menuntaskan rasa penasaran. Tentang sebuah hutan lindung yang banyak dibicarakan pelaku konservasi dunia, tapi nyaris tak dikenal di negeri sendiri. Carilah di Google kata “Ledjie Taq”, maka nama Kepala Adat Wehea ini lebih banyak diulas dalam tulisan asing, dibanding media lokal.
Jalan menuju ke Wehea seperti umumnya di Muara Wahau, penuh kebun sawit. Sekira sepertiga perjalanan, terasalah aura hutannya. Rupanya kami memasuki areal kawasan lindung sebuah perusahaan yang memiliki konsesi bersebelahan dengan Wehea. Maka, kawasan lindung ini sekaligus menjadi buffer yang baik bagi Wehea. Suasana kawasan lindung inipun sudah cukup mempesona kami. Pohon-pohon tinggi yang terawat, belukar rimbun di tepi jalan, serta sungai kecil yang amat jernih di sisi jalan. Makin ke dalam, suasana hutan tropis semakin terasa. Inilah hutan yang seharusnya. Jalanan bergelombang, sempit, dan menanjak, hanya layak dilalui kendaraan dengan empat penggerak roda. Dan akhirnya kami benar-benar sampai di gerbang Wehea.
Berdiri di batas gerbang Wehea, seperti memijak sekat batas kehidupan. Wehea menawarkan kemurnian kehidupan alam. Hamparan pohon rindang, lembah dan bukit yang rapat, dan juga suara hutan. Paduan dari keheningan, gemersik angin, ditingkah sayup suara burung dan satwa liar. Keriuhan kehidupan kota dan kegaduhan politik, akan terlupakan di sini. Seluas 38.000 hektar maka Wehea hanya sebuah noktah kecil dalam peta Kalimantan. Tapi Wehea sungguh turut berjasa besar menjaga agar paru-paru orang Kalimantan tetap sehat.
Kami tinggalkan kendaraan di batas gerbang Wehea yang kebetulan kosong, dan mencoba menyusur jalan setapak yang penuh jejak satwa liar, sebelum akhirnya buru-buru kembali ke gerbang karena serombongan penjaga hutan mendekat. Kebaikan hati dan keramahan bu Yuliana Wetuq, putri Kepala Adat Wehea sekaligus komandan para petkuq mehuey ini, membuat kami tidak dihukum karena sesungguhnya perlu izin adat khusus untuk ke sini. Setelah cukup banyak berbincang dan mendapat banyak informasi, kamipun pamit. Kendaraan melaju lebih cepat karena jalanan menurun, namun hati rasanya enggan meninggalkan Wehea.