Dua hari lalu, Selasa 27 September 2011, sekira pukul 9 malam saya baru tiba di rumah setelah kunjungan ke camp dan pabrik mill. Langsung pergi melayat. Seorang tetangga, dan sekaligus kenalan baik, sudah lebih dulu dipanggil Tuhan hari itu. Pemakaman baru dilaksanakan menjelang tengah malam. Menunggu kedatangan seorang putra dan 2 orang putri yang kuliah dan bersekolah di Jawa. Almarhum meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak. Yang bungsu masih SD, bahkan masih belum paham benar tentang arti duka. Saya berusaha terlibat dalam prosesi jenazah, semampu yang saya bisa dan saya mengerti. Sambil berusaha ikut menyelami duka keluarga yang ditinggalkan. Dada saya ikut bergetar setiap mendengar isak tangisan, bahkan nyaris tak kuasa melihat si sulung dan si bungsu mencium kening almarhum untuk yang terakhir kali.

Kematian, selalu menjadi guru terbaik dalam proses belajar manusia. Kita hanyalah bagian kecil dari siklus kehidupan. Lahir, tumbuh, berkembang, tua, hingga datangnya ajal. Bahkan kematian juga sering tak menunggu di akhir siklus.

Dulu, berita kematian pertama yang saya dengar adalah ketika kakek saya meninggal, dan orang-orang seumuran kakek. Lalu ayah, dan orang-orang seangkatan beliau. Kini, berita kematian sering datang dari sahabat-sahabat yang lebih tua.

Kematian adalah misteri, pengingat bahwa hidup tidak abadi. Tak ada alasan untuk tidak menyiapkan bekal. Mencoba melakukan yang terbaik dalam hidup, dan menumpuk bekal agar siap jika kelak datang giliran kita. []