Dalam permainan badminton, dikenal istilah bola tanggung. Dihasilkan oleh pukulan yang lemah, bisa karena situasi sulit bisa juga karena keinginan besar untuk melakukan lop serang tapi tenaga kurang. Kondisi yang kedua ini biasanya menimpa para pemula. Bola tanggung itu serupa hidangan nikmat bagi lawan, sekaligus duri yang menusuk pasangan. Di permainan tunggal, resiko ditanggung sendiri. Tapi dalam permainan ganda, sangat berpotensi meretakkan hubungan dengan pasangan. Jika berkali-kali pukulan anda tanggung, bisa diduga di jadwal berikutnya ia dengan berbagai cara akan menghindari berpasangan dengan anda. Soal bola tanggung ini, sahabat saya Om Ki Widada yang wasit nasional, dan Mas RoNy yang pelatih, tentu sangat paham.
Dalam kehidupan sehari-hari, kondisi tanggung seperti ini banyak dijumpai. Berkendara dengan kecepatan 30 km/jam di jalan dengan batas maksimal 60 km/jam tentu tidak melanggar peraturan. Situasi menjadi lain, ketika orang tersebut berkendara tepat di tengah-tengah jalur. Tidak memberi kesempatan kendaraan di belakangnya untuk mendahului baik dari sisi kanan maupun kiri. Baginya ia telah berlaku aman. Tidak ngebut, jauh dari parit pinggir jalan serta pembatas di tengah, tapi jelas ia telah gagal menjadi warga yang baik dan peduli atas kepentingan orang lain. Kenyamanannya harus dibayar oleh orang lain yang macet mengular di belakangnya. Bisa diduga, berkendara tanggung seperti ini mudah memancing emosi. Minimal menghasilkan klakson berkepanjangan di belakangnya.
Dalam dunia kerja, kondisi ini juga ada. Dalam sebuah organisasi yang besar, selalu ada sejumlah karyawan tanggung. Mereka yang walau dipacu seperti apapun, tetap saja sulit berprestasi. Umumnya bukan sekedar masalah teknis, tetapi masalah ada di dalam jiwa mereka yang sulit diajak berlari kencang. Tapi di sisi lain, dicari-cari salahnyapun tidak akan ditemukan. Maka dalam waktu yang panjang, mereka tetap akan menjadi bagian dari statistik populasi dalam organisasi.