Pendhapa kasunanan hening. Sang Jafar Shadiq duduk tegap di hadapan para santri yang tumungkul dengan takzim. Termasuk seorang santri baru berwajah kumal yang duduk membungkuk dalam.
“Katakan sekali lagi, Saridin. Benarkah bahwa di setiap air ada ikannya?”
Santri baru itu membungkuk makin dalam. Nampak sekali ia ketakutan. Lalu terdengar suaranya yang terbata dan pelan, tapi tetap jelas di ruang yang hening itu.
“De .. demikianlah kanjeng Sunan ..”

Lalu Sang Sunan memerintahkan seorang santri mengambil sebutir buah kelapa dan sebatang parang. Kelapa itu akan dibelah di tengah pendhapa. Seluruh santri gelisah. Yang sejak awal tak menyukai Saridin berharap inilah saatnya agar santri lusuh ini tak di Kudus lagi. Sebagian lagi iba, tak tega dengan orang lugu ini.

Saat parang terayun, pendhapa sunyi, lalu buah kelapa itupun terbelah dua. Di sela air kelapa yang memuncrat ke lantai pendhapa menggelepar seekor ikan wader dengan sisik yang mengkilat.

Beberapa orang tak sadar memekik. Sang Sunan tetap berwajah datar, namun matanya berkilat menusuk tajam ke kalbu Saridin. Santri lusuh itu makin ketakutan. Ia menatap ke lantai pendhapa dalam-dalam dengan badan gemetar. Sekilas terbayang wajah gurunya Syeh Malaya yang entah sedang menyendiri di mana.

Lalu, pendhapa kasunanan itu kembali menjadi sangat hening. Sehening-heningnya.