Kita tumbuh dari rasa ingin tahu, dari waktu ke waktu. Rasa ingin tahu yang dalam, membuat orang menyelam diam-diam agar paham. Rasa ingin tahu yang tipis, membuat orang menggelegak serupa riak air permukaan kolam. Jenis rasa ingin tahu yang sesungguhnya tipis ini kadang memprihatinkan. Seperti orang-orang yang berkerumun saat terjadi musibah kecelakaan, saling berdesakan untuk menjadi orang yang paling tahu tanpa keinginan kuat untuk menolong. Bahkan memarkir kendaraan secara sembarang sehingga menghalangi petugas yang hendak mengevakuasi korban.

Di setiap musibah selalu ada orang-orang yang penuh rasa ingin tahu yang sesungguhnya tipis, membaur dengan orang-orang yang memang tulus ingin menolong. Jenis rasa ingin tahu yang tipis ini pula yang sering membuat orang menjadi liar di media sosial atau di messenger group. Jari-jarinya begitu lancar dan latah membagikan gambar-gambar korban dalam posisi yang tidak pantas, kadang auratnya kelihatan, ke puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Dalam beberapa kasus ada juga yang suka mengaduk-aduk lumpur agar lebih keruh. Mengirim foto yang entah berasal dari tahun kapan, seolah itu peristiwa saat ini dengan menambahkan caption yang provokatif. Yang menerima lalu meneruskannya begitu saja, tanpa merasa perlu menyempatkan diri berpikir jernih untuk memeriksa kebenarannya. Ada pula yang suka menabuh kendang. Menjadikan korban dan peristiwa menjadi bahan canda yang lucu. Mungkin bagus, jika kita yakin itu bisa menghibur korban. Jika tidak, maka itu akan memerihkan luka yang telah perih.

Tidak perlu kecerdasan lebih untuk bersikap baik. Cukup dengan mencoba membayangkan dalam setiap peristiwa, andaikata yang menjadi korban adalah kita atau keluarga kita. Bayangkan, apa yang dirasakan.