Puisi Y. Wibisono
Di negeriku yang jauh, dik, tak pernah ada musim semi.
Sepanjang tahun, yang ada hanyalah musim cengkeh.
Ruang hatinya tiba-tiba saja penuh aroma daun
cengkeh. Harum yang dihembus oleh pucuk-pucuk
yang menguning segar. Lelaki itu tak mungkin tahan lagi.
Rindunya telah membuncah, seperti bunga cengkeh hijau
yang merona merah. Dikenangnya, ia yang lelaki remaja,
menenteng tas menyusur trotoar dan debu terminal
Trenggalek. Ia tak ingin menunggu kol di pertigaan Njarakan.
Ia hendak duduk di bangku depan agar selalu menjadi
orang pertama yang menyapa pucuk cengkeh.
Selepas Karangan, ketika ujung kota telah melambai
di belakang, segera ditemuinya aroma itu. Aroma
yang dibawa angin gunung yang terbelah di Dongko. Separuh
meluruh ke Sumberbening, separuh lagi ke barat, menyusuri
lembah yang meliuk di sepanjang Cakul dan Sampang.
Di relung dadanya masih terlukis jalan yang berkelok.
Juga belukar yang menyembunyikan jurang. Ia tak perlu
menghapal tikungan sebab di tiap batang cengkeh telah
terpeta arah perjalanan.
Ah, ia ingin sekali berdendang, seperti lagu anak petani
cengkeh, ketika buah hijau telah semburat merah:
ambillah lekas andang
petiklah beberapa batang
kita bawa ke tukang timbang
Di Sampang, ia akan berhenti sebentar. Membeli seporsi
punten lalu menyantapnya selagi hangat bersama canda
mbakyu-mbakyu yang wajahnya cerah dirias matahari.
Sejenak, ditulisnya surat kepada Tuhan agar kelak ia dikubur
di bawah pohon cengkeh. Agar tubuhnya meluruh ke akar,
lalu menjelma pucuk-pucuk cengkeh yang melambai.
Tapi segera pula dirobeknya. Pohon-pohon cengkeh telah
hilang, dan ia tak ingin jasadnya menjelma pucuk singkong!