Ia memakai sepatu kets putih kusam. Bagian belakang ditekuk, hingga bisa digunakan seperti terompah saja. Celana jeans-nya butut, robek di lutut. Rambut di sebelah atas telinga dicukur tipis, bagian atas menantang langit, dan yang belakang dibiarkan panjang berkibaran. Telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit rokok filter yang sesekali ia hisap dan permainkan asapnya. Sungguh, penampilan yang nyaris sempurna preman jalanan yang ingin merdeka dari segala aturan kepatutan. Mungkin ia ingin terus seperti itu selamanya.

Mungkin ia membayangkan dirinya seperti Carlisle Cullen di Twilight Saga. Sayang, ia hanya preman, bukan vampir. Jaman jelas tak akrab padanya. Sisa tonjolan urat dan tubuh kurusnya telah nampak ringkih. Saat tak menghisap rokok, pipi dan mulutnya bergerak-gerak sendiri -sepertinya tak ia sadari- tak mampu menyembunyikan penglihatan orang bahwa ia telah kehilangan sebagian besar giginya. Mungkin dari pertarungan-pertarungan yang ia alami atau memang gigi-gigi itu tanggal satu demi satu karena sudah waktunya. Dari garis kerutan di wajahnya, usianya mungkin tak kurang dari 55 tahun. Sejak sore ia telah duduk di situ, mungkin menunggu senja. Menatap satu dua kendaraan yang melintas di jalanan yang kering, sekering wajahnya.

Kehidupan selalu menawarkan pilihan, bahkan untuk orang yang sudah di ujung perjalanan. Senja menggelap. Yang tersisa hanya kita yang menerka-nerka, entah jalan akhir apa yang akan ia pilih.