Iki cara kinurmat kanggo mateni coro.
(Ini cara terhormat untuk membunuh kecoak)

Anakku sing nomer loro lagi lara weteng.
(Anakku yang nomor dua sedang sakit perut)

Tak hanya bahasa Indonesia yang sedang mengalami cobaan serius dengan serbuan bahasa gaul alay yang semakin tidak jelas. Bahasa Jawa juga mengalami cobaan yang tak ringan. Boleh jadi bahasa daerah lain juga demikian. Cermati yang saya tulis di atas. Tentu, orang Jawa harus mampu membedakan dengan gamblang, beda penulisan “cara” dan “coro” serta “lara” dan “loro”. Pedoman bakunya sederhana, abjad Jawa ditulis “ha-na-ca-ra-ka” dan bukan “ho-no-co-ro-ko”. Memang ada perbedaan dialek di beberapa daerah di Jawa, tetapi secara umum memiliki kesamaan dalam penulisan baku dan hanya berbeda dalam pengucapan. Kecenderungan untuk menulis kata Jawa dengan huruf vokal “o”, barangkali disebabkan orang banyak belajar bahasa Jawa dari pengucapan, dan kurang belajar dari penulisan. Ada juga keyakinan keliru bahwa semakin banyak huruf “o” yang digunakan maka semakin benar pula tulisannya.

Karenanya, tulisan “aku rapopo” jelas memiliki kesalahan serius. Itu berasal dari kata “aku ora apa-apa” dan seharusnya ditulis “aku rapapa”.

Baiklah, yang benar adalah “mangga sami nguri-uri basa jawa” dan bukan dengan “monggo sami nguri-uri boso jowo”. Sekilas, tulisan “monggo sami nguri-uri boso jowo” ini benar, tapi jika anda menuliskannya demikian maka anda juga harus mengucapkannya dengan vokal “o” penuh seperti pada kata coro (kecoak). 

Mari kita gunakan bahasa Indonesia yang baku dan bahasa daerah yang baku pula. Tak harus menjadi seorang ahli linguistik untuk merawat bahasa sendiri.