Bagian 9: Hari-hari Reuni dan Sungguh Cantiknya Panggul

Eksotis-95Senin, 20 Agustus 2012. Setelah melewatkan hari pertama lebaran bersama keluarga di Durenan, saya pamit ke ibu untuk menuju Panggul. Tak terduga, ternyata ibu ingin ikut kami!

Ini tentu menjadi menarik. Kedatangan saya ke Panggul, selain mengenalkan anak-anak saya ke kampung tempat kelahiran saya, adalah untuk menghadiri dua acara reuni. Reuni SD dan SMP. Ibu tentu saja tidak mungkin akan bisa menikmati suasana reuni saya. Ibu juga perlu acara reuni sendiri. Maka, sayapun mulai merencanakan beberapa destinasi di Panggul, rumah-rumah tetangga dan kerabat yang seusia ibu, 80 tahun ke atas.

Panggul adalah daerah yang cantik. Bukan karena saya lahir dan menjalani masa bocah hingga lulus SMP di sana, tapi memang Panggul benar-benar cantik.

Kecamatan Panggul berjarak kurang lebih 50 km dari ibukota kabupaten Trenggalek. Berupa suatu lembah yang 3 sisinya adalah pegunungan, dan salah satu sisinya langsung menghadap ke laut. Pantai di Panggul sangat eksotis. Ada dua pantai yang cukup dikenal dengan karakter yang sangat berbeda. Pantai Konang terdiri atas hamparan pasir putih yang luas dan di sisi sebelah kiri ada sungai di pinggir tebing yang langsung mengalir ke laut. Satunya lagi adalah pantai Pelang. Jalan ke pantai sedikit terjal, penuh dengan tebing karang yang sangat menantang. Pasirnya tidak seluas pantai Konang, tetapi di pantai Pelang ada air terjun yang tidak jauh dari laut. Berdiri di dekat air terjun itu, kita akan menikmati kolaborasi orkestra yang tak biasa. Gemercik air terjun yang jatuh di bebatuan, berbaur dengan sayup gemuruh ombak menerjang pinggir pantai.

Dan, oh ya, ombak di pantai Panggul selalu besar-besar. Hal ini mudah dijelaskan. Panggul terletak di sisi pulau Jawa bagian selatan, dekat perbatasan dengan Jawa Tengah. Tengoklah ke peta atau lihat Google Earth. Jika kita tarik garis lurus ke arah selatan, maka garis itu akan terus tanpa halangan, melintas laut di sisi barat pantai Australia dan langsung ke Antartika.

Perjalanan ke Panggul dari Durenan relatif lancar. Jauh-jauh hari, beberapa kawan mengingatkan bahwa jalanan Trenggalek ke Panggul rusak di beberapa bagian. Dengan adanya ibu di rombongan, membuat saya menjadi lebih ekstra hati-hati agar ibu merasa nyaman. Jalanan tak jauh berubah seperti saat saya masih tinggal di Panggul. Namun, ada sesuatu yang hilang. Dulu, sepanjang jalan ini penuh sekali dengan pohon cengkeh. Kini, hanya kami temui satu dua. Pucuk-pucuk cengkeh yang rimbun itu ternyata hanya tinggal dalam ingatan pikiran saya.

Dan di siang yang terik dan benderang itu, kami sampai di Panggul. Sebelumnya, seorang kawan saya, Mas Wahyu Winarto, -sahabat yang dari awal mengajak saya untuk menggagas reuni SD dan SMP ini-, telah mengatur tempat penginapan kami di hotel Ratu. Kebetulan sekali, pemilik dari hotel ini adalah salah seorang guru kami di SMP, Pak Ali Banowo. Dengan melihat waktu yang masih cukup sebelum acara reuni SD nanti malam, maka saya mencoba memanfaatkannya seefektif mungkin. Saya menghubungi adik kelas saya, Fajar Marhaendra, yang memang sudah komunikasi sebelumnya. Mas Fajar ini adik kelas saat SMP, tetapi sahabat ngluyur saya sejak SMP, SMA, bahkan hingga bekerja di Jakarta. Dua belas tahun yang lalu, terakhir saya ke Panggul bersama istri dan anak sulung, saya juga menginap di rumahnya. Keluarganya sudah seperti keluarga sendiri. Kamipun menuju ke rumahnya. Lalu saya menghubungi pula mas Kus Indra Widada, seorang sahabat SMP dan SMA yang meski jarang ketemu tapi selalu berkomunikasi. Ia seorang wasit nasional bulutangkis. Ia pernah mampir ke tempat kami di Samarinda saat sedang bertugas. Jadilah kami bertiga reuni kecil di rumah Fajar Marhaendra.

Setelah itu, rombongan saya dengan ditemani keluarga Fajar mengunjungi beberapa kenalan ibu yang tinggal di sekitar rumah tempat kami dulu saat masih tinggal di Wonocoyo. Sejenak, saya seperti terlempar ke masa lalu. Di daerah inilah saya melalui masa kecil. Segalanya telah banyak berubah, tapi saya masih mengenali beberapa tempat saya bermain petak umpet, mencari jengkerik, atau menerbangkan layang-layang. Puncak dari kunjungan ke tetangga ini adalah saat saya ke rumah mas Hari Agung Lukito. Ini adalah kawan sejak balita dan berkumpul hingga SMP. Terlalu banyak hal yang bisa kami kenang dari kelakuan masa kecil kami.

Menjelang senja, kami kembali ke hotel Ratu. Sayapun bertemu dengan mas Wahyu Winarto dan tak terduga juga bertemu dengan mas Momon. Mas Momon ini kawan SD dan SMP dan sering komunikasi di dunia maya, tapi inilah pertemuan kami sejak tahun 1989 terakhir bertemu. Sedangkan mas Wahyu ini berteman sejak TK hingga SMA. Terakhir bertemu saat sedang dinas di Samarinda. Lagi-lagi kami reuni kecil sebelum reuni besar.

Selepas maghrib, saya meluncur ke tempat reuni SD, mengajak si Bayu saja. Mamanya anak-anak memilih menemani ibu saya, dan Mbak Acha dan Mas Bram juga memilih di penginapan.

Eksotis-91Reuni SD dilaksanakan di sekolah kami dulu. Tepatnya adalah bekas sekolah, karena ternyata sekolah itu sudah sekian lama tidak difungsikan lagi. Saya kurang mengerti alasannya, dan tidak terlalu mempedulikan. Haru biru perasaan akan bertemu kawan-kawan lama mengalahkan segala rasa yang lain. Satu per satu kawan mulai hadir. Dan selalu perlu waktu sekian detik, bahkan sekian menit untuk mengenali masing-masing kawan. Maklum, rata-rata kami berpisah sudah hampir 30 tahun lamanya. Mbak Rini, Mbak Arti, Mas Muhyidin, Mas Bejan, Mas Boniran dan kawan-kawan lain. Sebagian besar sudah lupa nama lengkapnya.

Eksotis-92Lalu, para gurupun mulai hadir. Sungguh tak mudah bagi saya untuk masih mengenali semuanya. Segala perasaan yang menumpuk telah membuat tak banyak kata yang bisa terucap. Saya meresapi pertemuan ini sebagai bagian dari perjalanan hidup. Segala perjuangan, kenakalan, dan pengalaman saat-saat sekolah dasar menari-nari dalam kepala. Beberapa kawan tak kuasa menahan tangis. Namun, sulit sekali airmata untuk keluar dari mata saya. Tapi jangan tanya apa yang sedang bergemuruh dalam dada. Seperti kata seorang penulis, kenangan adalah kepedihan yang harus kita tanggung atas waktu yang terlewati. Tapi, ini adalah kepedihan yang indah.

Akhirnya reuni SD itupun usai sudah. Malam makin beranjak larut. Sebuah SMS masuk ke handphone saya. Ternyata kawan-kawan SMP sedang finalisasi persiapan reuni besok. Maka, sambil menggandeng Bayu yang terkantuk, sayapun meluncur ke tempat reuni SMP. Sebagian kawan tengah berkumpul. Sekali lagi, kami reuni kecil sebelum reuni besar besoknya. Saya bertemu mbak Nurul dan beberapa kawan lain yang sebelumnya sudah saling berkomunikasi tentang rencana reuni ini.

Eksotis-99Paginya, Selasa 21 Agustus 2012, tiba saatnya untuk reuni SMP. Sebelumnya saya sudah bersepakat dengan ibu untuk mengantarkan beliau ke rumah salah satu kerabat. Ibu tentu tak bisa menikmati acara reuni saya, dan tak ingin pula di hotel sendirian karena istri dan anak-anak saya ajak semua. Reuni SMP lebih meriah dari reuni SD. Tentu saja, karena jumlah alumninya jauh lebih banyak. Sebagian dari kawan-kawan ini juga kawan-kawan SD yang semalam reuni. Dan ternyata ada 2 kawan lagi yang dari Kalimantan Timur ikut datang, Mas Suyikno dan Mas Eko Purwono.

Eksotis-93Dan demikianlah. Dalam setiap reuni selalu penuh dengan haru biru. Walau panitia berusaha mengatur pola acara, tetapi sebenarnya pada tiap sudut telah berlangsung obrolan hangat, diselingi pelukan dan sesekali pukulan ringan, wujud dari kerinduan yang membuncah. Pun ketika pembawa acara meminta saya untuk memberikan kesan-pesan sebagai wakil dari alumni di rantau, saya juga tak ingin berbicara banyak-banyak. Yang mereka perlukan bukan sebuah pidato atau paparan ilmiah. Saya bertemu dengan banyak sekali kawan yang masing-masing punya kenangan sendiri. Tidak mungkin menceritakan semua kisah itu. Saya bertemu dengan mbak Nunik Yuliani, kawan yang di Taiwan. Dulu, bertiga dengan Mas Ahmad Mansyur, kami pernah baca puisi di acara 17-an. Tiba-tiba saja saya ingat, karena panggung tempat kami pentas itu dulu berdiri tak jauh dari tempat kami reuni saat ini. Kegairahan reuni tengah berlangsung di semua sudut tempat duduk. Pun ketika perwakilan guru memberikan sambutan. Kami tak bisa sepenuhnya fokus karena semua sedang merasakan hal yang sama, keharuan dan kerinduan yang sedang bergelora.

Eksotis-98Saya pamit, ketika acara reuni belum benar-benar usai. Telah ada sejumlah rencana yang harus saya lakukan agar perjalanan ini benar-benar efektif. Setidaknya ada 2 rencana yang harus saya lakukan, pergi ke pantai Konang dan bermain bulutangkis di balai desa. Jika masih memungkinkan, saya akan ke Pelang. Untuk dua acara itu, mas Kus Indra Widada akan menemani, karena dialah ‘penguasa’ wilayah Konang dan juga pelatih bulutangkis. Saat ia di Samarinda dulu, juga sempat bermain bersama kelompok saya. Demikianlah, dengan berat hati saya pamit duluan. Seorang kawan lama, mas Heri Wiyanto, ikut mengantar ke parkiran.

Eksotis-94Saya langsung menuju Konang setelah menjemput ibu, sementara mas Widada akan menyusul setelah mengambil perlengkapan untuk bulutangkis nanti sore. Terakhir saya ke Konang mungkin tahun 1989, lama sekali. Tapi tentu saja saya tidak pernah lupa arahnya. Dan sudah bisa diduga, anak-anak saya sangat bergairah ketika di Konang. Gairah yang begitu polos dan tak pernah dapat ditahan saat mereka bertemu pantai. Apalagi Konang jauh lebih elok dibanding pantai-pantai kami di Kalimantan Timur. Mereka bertiga langsung meluncur ke ombak-ombak yang bergulung di pasir yang terhampar, Udara sangat terik. Agak aneh untuk ukuran saya yang terbiasa dengan panas garis khatulistiwa. Namun apa artinya panas itu dibanding kegembiraan anak-anak yang bermanja dengan gulungan ombak? Kegembiraan mereka makin menjadi saat menuju ke sisi kiri pantai, tempat sungai kecil mengalir menuju laut.

Eksotis-96Setelah puas menemani anak-anak dan memastikan bahwa mereka aman dan kenal medan, saya memilih mendekati para penjual ikan bakar. Banyak ikan lokal yang dbakar secara sederhana dan langsung dinikmati. Ikannya kecil-kecil, dibakar dalam bentuk utuh. Saya pesan beberapa ekor. Menikmati ikan bakar, di tengah kencangnya angin pantai selatan serta terik matahari yang menantang, sungguh telah menghanyutkan dan mengingatkan saya tentang betapa gaharnya kehidupan di pantai Panggul. Ibu saya terlihat juga menikmati suasana ini. Tentu beliau masih mengenang Konang saat dulu. Istri saya memilih menemani ibu, duduk berdua di bangku di bawah pohon nyiur. Memandangi anak-anak yang nampak tak hendak berhenti bercanda dengan ombak laut.

Eksotis-97Jika tidak karena jadwalnya ke gedung bulutangkis, saya pun enggan berhenti menikmati pantai Konang. Mas Widada sudah datang, membawa tas berisi raket dan shuttlecock. Dengan susah payah saya membujuk anak saya untuk berhenti bermain dan bersiap ke Wonocoyo. Saat muncul dari laut, tubuh anak-anak penuh berlepotan dengan pasir laut. Istri saya begitu sibuk membersihkan tubuh mereka pada tempat bilas sederhana yang disediakan.

Setengah jam kemudian kami sudah di gedung bulutangkis di balai desa Wonocoyo. Tenaga saya sebenarnya sudah nyaris habis di Konang, tapi kegembiraan bermain bulutangkis membuat energi saya muncul. Kami sempat bermain satu partai pertandingan. Anak saya juga bermain tukar pukulan dengan anak-anak Mas Widada.

Menjelang sore, kami istirahat. Ada sedikit kebingungan tentang destinasi berikutnya. Kami masih ingin ke pantai Pelang, menginap semalam lagi, dan besok pagi baru akan kembali ke Durenan. Tapi, setelah berunding dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami putuskan untuk kembali ke Durenan sore itu juga. Maka, dengan tubuh yang masih penuh keringat sehabis bulutangkis, serta rasa lelah di pantai Konang, saya menyetir kembali ke Durenan. Sebelumnya menelpon beberapa kawan menyampaikan permintaan maaf tidak bisa mampir. Sepanjang jalan, di tengah kewaspadaan jalan Panggul-Trenggalek yang penuh kelokan dan tanjakan curam, pikiran saya penuh dan padat dengan segala kenangan tentang Panggul. Dan kami sekeluarga sepakat, bahwa setiap liburan ke Trenggalek, akan kami sempatkan untuk menjenguk pantai-pantai di Panggul. Perjalanan mulai gelap. Lampu-lampu rumah di kiri-kanan jalan mulai menyala, berselang-seling dengan rimbunnya hutan di beberapa tempat. Anak-anak mulai tertidur. Pikiran saya terbelah. Separuh berkonsentrasi pada jalan di depan, separuh lagi melayang tentang kenangan semua masa kecil saya di Panggul. []