Bagian 5: Tempat Mbah Yut di Krian

Rabu, 15 Agustus 2012. Hari ini kami akan mulai bergerak dari Surabaya. Sejak pagi, istri sudah melakukan persiapan barang-barang untuk perjalanan panjang. Beberapa barang yang kurang perlu, ditinggal di Surabaya. Destinasi pertama adalah Krian, tempat nenek istri saya, mbah Yut-nya anak-anak. Krian tak seberapa jauh dari Surabaya.

Saat mulai keluar Surabaya, karena terlalu asik mengobrol dan bercanda dengan anak-anak, tanpa sadar saya masuk ke tol Sidoarjo. Padahal arah Krian standar adalah sebelah kiri jalur tol. Saat salah jalan kami dengan senyum simpul memandangi jalur di bawah kami sebelah kiri yang seharusnya kami ambil.

Kepalang tanggung. Kami kebetulan belum pernah lewat jalur ini, sekalian jalan-jalan. Di tengah arah Sidoarjo kami memutar, lalu turun tol mengikuti petunjuk arah ke Krian. Jalannya tidak lebar, tapi cukup nyaman untuk simpangan dengan kendaraan lain. Jarak dan waktu tempuh jadi lebih jauh, mungkin bisa hampir dua kali lipat dari seharusnya. Setidaknya itu yang dirasakan istri saya, yang saat remajanya sering menempuh Surabaya-Krian..

Akhirnya, kamipun melewati Pasar Krian, yang artinya rumah mbah Yut sudah tidak jauh lagi. Setibanya di sana, kami tinggal bersantai, melepas rindu dengan kerabat, sambil menunggu saat berbuka puasa. Mamanya anak-anak bahkan sudah bersiap dengan bekal menu dari Surabaya. Untuk jaga-jaga jika tuan rumah tidak siap dengan kedatangan kami berlima. Mbah Yut tinggal di rumah sendiri dan beberapa rumah di sekitarnya adalah rumah anak-anaknya, paman dan bibi dari istri saya. Kami tidur di rumah salah satu rumah putri mbah Yut, bibi istri saya.

Daerah rumah mbah Yut di Krian adalah representasi dari daerah pinggiran sisi luar Surabaya. Masyarakat secara umum masih memegang tradisi lokal, tetapi pengaruh modernitas Surabaya menyentuh secara sporadis. Tergambar pada cara berpakaian dan gaya rambut sebagian remaja di sini. Daerah Krian adalah daerah perbatasan, ketika sawah-sawah lahan bertani mulai beradu dengan industri yang meluaskan lahan. Petani-petani yang gamang dalam simpang jalan. Terus merawat pertanian dengan cara tradisional, atau berharap lahannya diminati pabrik dan mendapatkan ganti rugi yang besar.

Anak-anak menikmati suasana ini. Bayu berkali-kali berusaha mendekati ‘barongan’, tempat rumpun bambu lebat di dekat sungai kecil di belakang rumah. Ia sibuk mengelola rasa penasaran dan rasa takutnya pada suara kesiur batang bambu. Dengan mengendap-endap ia mendekati rumpun bambu, lalu sejurus kemudian lari terbirit-birit ketika dari jauh dua kakaknya menirukan suara-suara aneh seperti di film horor.

Kami melewati buka puasa dan sahur di sini. Malam berlalu dalam hening. Suara deru kendaraan dan dentum nadi Surabaya, berganti dengan orkestra alam. Suara bermacam serangga, angin yang menempuh pepohonan, serta kokok ayam yang bersahut saat menjelang fajar.

Paginya kami berbenah, bersiap menuju destinasi berikutnya. []