Bagian 14: Selorejo, Tempat Singgah Yang Eksotis

Eksotis-141Sabtu, 25 Agustus 2012. Walau masih ingin lebih lama di Trenggalek, namun hari ini sesuai jadwal yang direncanakan kami harus menuju ke destinasi berikutnya: kota Malang. Ibu tentu saja cukup berat melepas kami. Apalagi esok hari sebenarnya adalah hari Kupatan, ‘lebaran’ yang sesungguhnya di kampung saya.

Tapi saya punya alasan khusus. Kupatan adalah acara besar, akan ada ratusan orang bahkan mungkin ribuan yang akan lalu lalang di sekitar pondok pesantren ini. Anak saya belum terbiasa dengan hal itu, dan kebetulan waktu kecil dulu si sulung Tasha pernah opname ‘akibat’ kurang tangguh menghadapi hiruk pikuk acara kupatan.

Si Tasha pula menjadi alasan saya berikutnya. Ia yang baru saja masuk SMP –yang tentu dengan perjuangan sekian kali test masuk- tentu tidak boleh lama-lama ‘membolos’. Kami merencanakan untuk mengirim dulu putri sulung kami ke Samarinda. Segala sesuatu sudah disiapkan, tiket pesawat, menitipkan ke tetangga Samarinda yang kebetulan juga berlibur di Surabaya, hingga orang yang akan mengurus saat dia di rumah Samarinda.

Pagi-pagi sekali kami sudah berkemas. Budhenya di Durenan sudah menyiapkan 2 ekor ayam masak lodho untuk perbekalan. Kakak saya, Mas Makmun, menyarankan untuk mampir di waduk Selorejo yang terletak di tengah antara Blitar dan Malang. Dengan mempelajari route, saya simpulkan ini tempat singgah yang pas, tanpa mengubah destinasi utama.

Kamipun meluncur ke arah Malang, melewati kabupaten Tulungagung dan Blitar. Sepanjang jalan, kepala saya terus berputar-putar mengenang situasi jalan ini 24 tahun yang lalu saat saya masih kuliah di Malang. Ini adalah jalur saya setiap bulan, atau setiap habis amunisi di rumah kost. Setelah keluar dari Blitar, jalan mulai sedikit menanjak. Kami mulai waspada terhadap setiap penunjuk jalan, agar tidak terlewat arah ke waduk Selorejo.

Akhirnya penunjuk jalan itupun terlihat, tanpa ragu saya langsung berbelok ke kanan menyusuri petunjuk yang ada.

 Eksotis-142

Tempatnya cukup bagus, cocok untuk singgah. Waduk ini rupanya juga menyediakan jalur ke Malang langsung tanpa lewat jalan utama. Cukup banyak sarana permainan baik di lokasi waduk maupun di tepiannya. Tasha dan Bram ingin mencoba flying-fox. Bayu nampak ingin mencoba, tapi ragu. Tasha sukses mencoba, tapi Bram bernasib kurang mujur. Saat di pertengahan jalur, talinya macet dan terpaksa harus ditarik manual. Saya lihat wajah Bram pucat. Pengelola minta maaf, dan memberikan bonus satu kali meluncur gratis, tapi Bram terlanjur trauma.

Eksotis-144

Eksotis-145

Kamipun mencari tempat istirahat, dan menemukan gazebo yang di bawahnya ada kolam ikan. Perbekalan pun dibuka, dan satu ekor ayam lodho kami habiskan langsung. Selesai urusan perut kami meneruskan menyusuri wisata waduk ini. Kami sebenarnya ingin mencoba perahu, tapi dengan berbagai pertimbangan, dan mengingat masih cukup banyak yang harus kami tuju, maka kami hanya jalan-jalan saja berkeliling.

Eksotis-146

Eksotis-147

Menjelang sore, saya meneruskan perjalanan ke Malang. Memasuki kota, mata saya nanar menatap setiap sudut jalan. Inilah kota besar pertama yang pernah saya tinggali pertama kali, sebagai anak kost. Dalam usia penuh gairah anak muda waktu itu, tentu saja banyak kenangan padat di kepala tentang kota ini. Dari hal-hal normal hingga begadang di alun-alun dan tertidur di tengah lapangan hingga siang hari saat merayakan tahun baru. Memasuki perempatan ITN, debar di jantung saya makin bergemuruh. Saya pernah tinggal di Sumbersari lalu pindah ke Kertoleksono yang terletak persis di belakang kampus Unibraw. Kakak kelas SMA saya yang menjadi dosen senior di kampus ini mengingatkan saya bahwa kini namanya bukan Unibraw, tapi UB. Tapi tetap saja, saya lebih suka mengenangnya sebagai Unibraw. Saat melintas di jalan Gajayana, persis di depan IAIN yang kini berubah menjadi STAIN dan berseberangan dengan mulut gang Kertoleksono, saya sebenarnya ingin berhenti sebentar. Saya ingin berjalan masuk ke dalam gang untuk melihat-lihat tempat kost saya dulu, serta warung tempat saya biasa makan. Rupanya jalan Gajayana demikian padat, dan lebarnya tak berubah dari dulu, tidak memungkinkan untuk parkir. Gagal berhenti saya memutuskan untuk terus menuju ke Batu, melintasi Dinoyo.

Kami tiba di Batu saat senja. Mumpung belum gelap, kami harus segera mencari penginapan. Kami menemukan sebuah hotel yang begitu dekat dengan tempat wisata Jatim Park. Ini hotel kelas Melati namun seharga bintang tiga. Tapi layanannya lumayan baik. Hotel ini rupanya memiliki dua jalan masuk lewat bagian depan dan bagian belakang. Saat pertama datang rupanya saya berada di bagian belakang hotel. Selesai urusan kamar, seperti biasa anak-anak langsung lepas. Dan tiba-tiba saja Bayu mendapat teman baru, seekor burung kakatua putih besar yang berada di kandang di belakang hotel. Kakatua yang terlatih. Ia begitu cerewet menyapa kami. []

Eksotis-148