Bagian 13: Bendungan, Indahnya Perjalanan Tanpa Destinasi
Jumat, 24 Agustus 2012. Setelah puas menikmati sate dan gule Sido Moro, saya mengajak keluarga ke Bendungan, sebuah kecamatan kecil yang terletak di sebelah utara kota Trenggalek. Mungkin tak ada destinasi istimewa di Bendungan. Tapi keindahan di Bendungan memang bukan pada tempat tujuan, tetapi pada perjalanannya. Saat di SMA saya tidak pernah ke Bendungan. Tapi seperti cerita yang saya dengar, perjalanan ke Bendungan memang menyenangkan. Di kiri kanan jalan yang penuh kelokan dan tanjakan terhampar hutan pinus yang indah. Setelah pantai, maka tempat kedua yang juga disukai oleh kami sekeluarga adalah suasana hutan yang sejuk. Dan itu kami dapatkan sepanjang perjalanan. Jalan yang berkelok, dengan sisi bukit dan jurang yang saling menyebelah, angin dan sinar matahari yang menerobos hutan pinus, sungguh kombinasi yang mengagumkan.
Akhirnya kami tak tahan juga dengan godaan untuk berhenti sejenak menikmati suasana. Jalanan sepi, hanya ada beberapa kendaraan roda empat dengan pengendara motor sesekali melintas. Saya mengajak anak-anak untuk masuk ke hutan, melihat dan menyentuh pohon-pohon pinus yang rimbun. Di beberapa pohon kami melihat kulit yang dikoyak untuk diambil getahnya, dengan batok kelapa sebagai penampungnya.
Saat memutuskan untuk terus bergerak menyusur jalan, kami bertemu dengan simpang tiga. Sejenak saya ragu hendak memilih yang mana. Berdasarkan perhitungan, jika lurus saya akan mengarah ke nDilem, tempat yang biasa menjadi bumi perkemahan. Kalau ke kiri, saya akan menuju ke arah wilayah kabupaten Ponorogo. Saya memilih ke kiri dan terus mengikuti jalan yang seolah berkelok tak habis-habis. Beberapa jalan agak rusak, tapi tetap bisa dilewati tanpa perlu perjuangan berat. Setelah melewati beberapa bukit, kami menemukan tugu perbatasan wilayah Trenggalek dan Ponorogo. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, dan berputar arah, kembali menuju Trenggalek. Sepanjang jalan, tak henti kami mengagumi keelokan hutan pinus ini.
Agak ironis sebenarnya. Kami adalah warga Kalimantan, yang terkenal dengan rimba belantaranya. Tapi, sesungguhnya rimba-rimba di Kalimantan sebagian besar telah hilang. Untuk bisa menikmati hutan perawan di Kalimantan, mungkin kami harus mengeluarkan upaya yang jauh lebih berat, dibanding pulang menyusur kampung halaman.
-oOo-
Saat perjalanan pulang, saya ingin menutup hari itu dengan makan ayam lodho. Di tempatnya langsung. Walau sesungguhnya saya belum cukup lapar. Tapi mengingat besok sudah harus meluncur ke destinasi lain di luar Trenggalek, acara incip ayam lodho di tempatnya langsung ini harus dilakukan. Sayangnya anak-anak belum cukup tangguh untuk menghadapi pedasnya ayam lodho.
Pilihan jatuh ke rumah makan Ayam Lodho Pak Yusuf. Letaknya di Kedunglurah, kami lewati saat perjalanan pulang ke Durenan. Sayangnya, walau nama depan saya sama dengan nama pendiri rumah makan ayam lodho, saya tak mendapatkan diskon dalam bentuk apapun.
Saya hanya memesan sepotong ayam lodho standar, sementara anak-anak mencoba ayam lodho kosongan, tanpa bumbu. []