Bagian 11: Karanggongso dan Rindu Kami
Kamis, 23 Agustus 2012. Hari-hari yang sungguh hebat. Tiga kali reuni mengharukan dengan almamater yang berbeda. Keharuan yang tidak mudah diwakili kata-kata. Obrolan yang terjadi seolah hanya riak kecil, tapi jelas menyembunyikan kedalaman telaga dengan seribu cerita yang ingin diungkap. Hari ini, kami sekeluarga ingin melengkapkan perjalanan dengan menikmati senja di Karanggongso.
Sejak malam, saya mengutarakan niat itu pada ibu, dan beliau ternyata sangat ingin ikut. Maka, kami pun merundingkan rencananya. Paginya kami meluncur ke Trenggalek, bersilaturahmi ke keluarga di daerah Sukosari. Siangnya kami menuju Watulimo. Mas Makmun ikut bersama kami. Anak-anak sudah sangat tidak sabar untuk mencium bau laut. Dulu mereka bertiga pernah ke pantai Prigi dan Karanggongso. Tapi waktu itu Bayu masih sangat kecil, ia sulit mengingat pantainya.
Sampai Prigi, kami langsung menuju ke Karanggongso. Anak-anak langsung berhambur ke pantai. Mas Makmun dan saya menemani mereka, sementara istri dan ibu saya duduk bersantai di bawah pepohonan. Tak tahan godaan ombak Karanggongso, saya bersama Tasha dan Bram mengayuh pelampung ban agak menjauh ke tengah karang, hingga sebuah ombak menjatuhkan kami. Berdiri di atas karang yang tajam, memegangi 2 anak, dan ombak terus menghantam membuat kaki saya berdarah-darah. Perih. Tapi ini mengingatkan bahwa keindahan hidup tak kan lengkap tanpa kepedihan. Ketegaran hanya bisa dibentuk dari kepedihan.
Menjelang senja air laut beranjak surut. Perlahan terlihat tonjolan karang di air laut yang semula bersih terhampar. Seperti isyarat, saatnya pulang. Anak-anak nampak masih enggan beranjak, mereka sedang berpetualang dengan pakdhenya, mencari binatang-binatang laut yang terperangkap di cekungan karang saat air surut.
Langit mulai memerah saat kami beranjak meninggalkan Karanggongso. []