Aih, media sosial. Betapa sulit untuk tidak menyukainya. Ia menebas jarak, menghamburkan kenangan. Betapa tidak. Tiba-tiba saja ia hadirkan teman-teman masa kecil lengkap dengan segala kenangan lucu. Bahkan ia pertemukan pula kita dengan mantan pacar saat remaja yang mungkin belasan bahkan puluhan tahun tak pernah tahu rimbanya. Tapi ia yang begitu lihai menghadirkan pertemanan dan kenangan ini juga diam-diam menyimpan wajah lain. Di luar konten yang kotor, porno, dan kurang cerdas, bahkan dalam wajah yang baik pun ia tetap menyimpan sayatan yang mengiris. Ia menebas jarak, mendekatkan yang jauh, namun diam-diam juga menjauhkan yang dekat. Kita mulai memilih menyapa tetangga kita lewat BBM, WA, FB, daripada mengetuk pintu rumahnya untuk bersilaturahmi. Di sebuah ruang tunggu, kita memilih bersenda gurau di gawai yang kita genggam daripada saling sapa dengan orang-orang di sekeliling kita. Padahal, andai kita tiba-tiba kejang, tersungkur, atau ada seseorang hendak berniat jahat, orang-orang di sekeliling kita lah yang dapat kita harapkan segera menolong. Bukan teman-teman yang sangat banyak, tapi berkumpul dalam gawai itu.