Panggul, tanah masa kecil saya, berupa sebuah cekungan lembah yang elok di pesisir selatan Jawa Timur. Tiga sisinya, utara-barat-timur, berupa deretan bukit-bukit hijau yang teduh. Sisi bagian selatan berupa pantai-pantai menawan yang langsung menghadap samudera luas, yang jika ditarik garis lurus ke selatan akan melewati laut sebelah barat Australia dan terus ke Antartika. Selain indah, Panggul saat itu juga penuh dengan belut yang kaya protein. Ada di mana-mana: di sungai kecil, parit-parit irigasi, juga di sawah basah dalam jeda tanam padi. Jika anda tak pernah makan belut, cobalah bertanya kepada penggemar belut, betapa lezatnya daging belut tangkapan dari alam.

Tapi lezatnya belut juga berbanding lurus dengan sulitnya menangkap. Tak peduli seberapa cepat gerakan tangan anda ataupun seberapa kuat otot jari anda mencengkeram, belut selalu punya cara untuk lolos. Saya merasakan sendiri betapa tidak mudahnya menangkap belut. Kombinasi lendir di kulitnya serta lumpur di habitatnya menciptakan kemampuan luar biasa untuk melepaskan diri. Hingga suatu saat, kakak saya mengajarkan cara efektif untuk menangkapnya. Ia mengambil garpu makan tua dari dapur ibu, mengasah ujung-ujungnya, meluruskan lengkungnya, lalu menyambungnya dengan sebuah galah bambu kecil. Saya takjub dengan hasilnya. Alat itu memiliki tingkat keberhasilan nyaris 100%. Asal belutnya terlihat dan dalam jangkauan galah, akan bisa ditangkap dengan mudah. Belut tertusuk pada dua sisi badannya, terjepit di antara mata garpu.

Kenangan waktu kecil itu memberikan keyakinan kuat di hati saya bahwa tak ada belut yang begitu licin yang tak bisa ditangkap. Selalu akan ditemukan strategi paling efektif dalam menangkap belut. Tak peduli terhadap belut yang maha licin, yang mudah menang di praperadilan ataupun di persidangan. Selalu akan ada saatnya ditemukan alat efektif yang mudah menjepit belut. Terhadap belut yang sekarang, belut-belut yang masih tertutup lumpur, atau potensi bibit-bibit belut yang terus mengasah kelicinan tubuhnya.