Pagi ini saya terbangun dengan bisikan kata “layu sebelum berkembang”. Pertama datang dari Setara Institute. Gerah dengan langkah-langkah Pak Jendral, yang dinilai sedang mencari panggung dan terus membangun profil politik, lalu memberikan saran serius kepada Presiden. Bahwa segala sepak terjang Pak Jendral seyogyanya diperlakukan dengan normatif dan biasa-biasa saja, agar akhirnya layu sebelum berkembang dengan sendirinya.
Kedua, datang dari tetangga sebelah. Ibu pemimpin cantik itu, sungguhlah tragis nasibnya. Banyak orang meyakini, selangkah lagi ia akan menjelma sekuntum bunga indah dengan kelopak yang lebih besar. Perjalanannya juga sangat menarik. Mewarisi nama yang juga suram, mengawali langkah dengan kabar burung tentang kisah biru dalam kepingan VCD, ia pelan-pelan bisa mengubah semuanya. Menggencarkan perbaikan infrastruktur, menghadirkan prestasi bagi daerah, dan pelan-pelan mulai mencatatkan nama harum dalam kiprah nasional. Tapi peristiwa 26 September kemarin mengubah semuanya. Sungguh, ia telah layu sebelum berkembang.
Lalu, dengan ia yang kemungkinan besar menjadi tersingkir, akankah menyisakan kandidat yang lebih baik dan lebih bersih? Tak ada yang tahu juga, dan banyak yang tak ingin memikirkannya. Sebab, kita sudah terbiasa hidup dalam harapan.