Di tahun 1936, ketika kehidupan masyarakat pedesaan Jawa pada masa itu umumnya dianggap buta huruf, seseorang dari daerah pinggiran Kediri mengejutkan literasi dunia. Orang itu, Ihsan Dahlan dari pesantren Jampes, menulis buku Siraj Al-Thalibin yang diterbitkan di Kairo dan menjadi bahan kajian dan rujukan di banyak perguruan tinggi di negara-negara lain. Siraj Al-Thalibin berisi syarah (komentar dan penjelasan) dari kitab tasawuf Minhaj Al-Abidin yang merupakan karya terakhir Imam Ghazali (1058-1111). Siraj Al-Thalibin mendapat banyak pujian, selain dari isinya, tata bahasanya juga dinilai sangat baik. Menurut beberapa catatan, pemimpin Mesir mengirim utusan ke dusun Jampes, memintanya untuk bersedia menjadi pengajar di Al Azar, Kairo. Namun Kyai Ihsan menolak dengan sangat halus, memilih untuk mendidik para santri di pondok pesantren Jampes yang sederhana. Selain Siraj Al-Thalibin, beliau juga menulis banyak hal seperti bidang bahasa, falak, fiqih, bahkan menulis buku khusus yang membahas tentang hukum minum kopi dan merokok dalam Islam. Tidak semua karyanya diterbitkan dalam bentuk buku, sebagian masih dalam bentuk manuskrip.
Kyai Ihsan Jampes, adalah potret dari sebagian ulama tanah air yang memilih jalan senyap dalam dakwah. Di masa kini pun saya meyakini, masih banyak kyai-kyai sederhana yang menempuh jalan senyap ini. Memilih mendidik para santri di pesantren yang sepi, jauh dari publikasi. Tentu saja, kita akan sulit menemukannya di panggung televisi.