Di era orde lama, koruptor mengambil uang di bawah meja. Pada era orde baru, ada kemajuan, mereka sudah berani mengambil uang di atas meja. Ketika era reformasi, koruptor lebih gagah berani, mereka mengambil uang dan mejanya sekalian. Entah apakah secara fisiologis telah terjadi pelemahan urat malu para pejabat, yang pasti semakin hari kita dibuat tercengang dengan pengungkapan kasus-kasus yang membuat miris. Kata astaghfirullah-pun tak cukup. Seluruh bangsa harus bersatu padu memerangi korupsi.

Seorang kawan bercanda di saat ngobrol pagi sebelum memulai aktivitas kerja. Menurutnya, saat ini aparat pemerintahan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka yang melakukan korupsi. Kelompok kedua, mereka yang belum melakukan korupsi tapi nunggu waktu. Maksudnya tentu saja jelas.

Secara pribadi, saya meyakini bahwa saat ini pun pasti masih ada aparat yang bersih. Namun hal-hal yang terjadi belakangan benar-benar membuat kita harus mengelus dada. Memalukan! Barangkali itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi moral para petinggi bangsa saat ini. Apa yang terjadi di tubuh kejaksaan dan kasus anggota DPR cukup mengganggu rasa bangga kita menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Sebelum itupun, kita juga telah dibuat malu dengan kasus yang menimpa Menteri Agama era sebelumnya. Tokoh yang seharusnya menjadi panutan moral, harus terkait dengan kasus yang lagi-lagi memalukan. Tak ada pendidikan atau sekolah khusus yang bisa menghilangkan unsur negatif di jiwa seseorang agar tidak melakukan korupsi. Satu-satunya tempat yang bisa melakukan itu adalah sebuah institusi bernama keluarga. Pendidikan mental serta akhlak mulia, yang ditanamkan sejak dini dengan penuh disiplin dan kasih sayang, diimbangi dengan tauladan yang baik dari orang tua, mungkin akan menjadi alat efektif untuk menyiapkan bangsa baru yang tidak korup. Perbuatan korupsi ketika sebagian besar rakyat hidup tertatih, adalah perbuatan biadab. Mari kita kutuk koruptor! []