Setiap orang tua tentu berusaha mendidik anaknya dengan cara terbaik. Di antara sekian banyak cara, ada dua yang ekstrim. Pertama, menganggap anak seperti sebongkah logam yang perlu terus dibakar dan dipukuli. Kedua, menganggap anak adalah gelas kristal yang perlu dijaga mati-matian.

Cara pertama, biasanya anak lebih sering menjadi sasaran kekerasan dan kemarahan dengan tanpa pola. Hasil akhirnya umumnya logam tanpa bentuk yang kasar dan mudah berkarat. 

Cara kedua, anak akan dilindungi habis-habisan dari segala hal. Dicubit memar sedikit oleh gurunya, langsung dibawa ke pengadilan. Hasil akhirnya adalah sebentuk kristal yang rentan, yang goncangan sedikit saja bisa membuatnya pecah berantakan. 

Selain dua cara itu, ada pula cara yang dianggap lebih modern. Atas nama tumbuh kembang kreativitas, anak boleh melakukan apapun yang diinginkan, dalam segala situasi. Berlarian di kursi ruang tunggu, jumpalitan di ruang tamu orang, melangkahi kepala orang yang sedang sujud di masjid, berkejaran melintasi lapangan badminton saat orang sedang main, dan banyak hal lagi. Biasanya situasinya mirip. Orang tua sibuk dengan fokusnya sendiri, dan orang lain wajib menerima keadaan itu karena mereka masih anak-anak. Apapun itu, setiap orang tua memiliki hak penuh dalam memilih cara mendidik anaknya dengan segala konsekuensinya.

Saya sendiri memercayai konsep pembuatan keris. Sebuah keris yang baik harus dibakar dan ditempa, dengan pola yang jelas. Bersedia dihukum jika salah, dan berhak dipuji atas hal baik yang dilakukan. Pada setiap lekuk keris, ada cinta luar biasa yang diberikan sang empu. Memang tak semua keris akan menjadi mahakarya. Tapi saya lebih memilih cara pembuatan keris dalam mendidik, kepada anak maupun kepada murid. Hasil akhir, tentu kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.