Karya: Y. Wibisono

“Wahai pemilik laut, adakah laut yang
lebih laut, yang mahalaut, yang telah
disembunyikan oleh langit dariku?”

Jika kelak kau melaut lagi, ah pastilah
kau akan melaut lagi. Kau selalu merindu
laut, seperti kau merindu aliran darahmu
yang sesekali kau rasa asing. Kau selalu
rindu ikanmu, anginmu, ombakmu, juga
taburan bintang yang tak pernah jemu
berkerling padamu.

Kubayangkan kau bertopi lebar, duduk
mencangkung di buritan perahu. Kau
penuh harap pada kailmu. Seperti mimpi
di lubuk hatimu tentang sepotong senja
indah yang satu waktu tiba-tiba saja
terhampar di lautmu.

Kau akan melaut lagi, itu pasti. Sampai
nanti bila telah terjawab berpuluh tanya
di hatimu.
“Dulu, dulu sekali, laut dan langit
pernah bersama”, desahmu tanpa ragu
sambil terus gelisah, betapa kau cemburu
membayangkan laut dan langit berkolaburasi
mendendangkan lagu malam.

Jika kelak kau melaut lagi, kabarkan pada
laut. Ada seseorang lagi, dan seseorang yang
lain pula, yang ingin ke sana. Menemanimu
memburu laut. Sambil membantumu
mencari jawab, mengapa Mahakam
memutuskan beranak banyak saat
berjumpa laut?

Jika satu sore kau telah di antara muara
itu, ketika hujan gerimis disibak sinar
mentari yang merah, kau lihatlah bianglala
yang membentang di ujung laut. Adakah
benar kau lihat ada tujuh bidadari turun
dari ujung pelangi?

Ah, esok pasti kau akan melaut lagi.
Ke laut, yang lebih laut!

Samarinda, 03/05/07

*) Untuk si Bung, yang selalu mengisi liburnya dengan menelusuri
laut di muara Mahakam.