Mengenang guru kita, juga berarti mengenang pula apa yang kita alami saat bersekolah. Yang umumnya menyenangkan adalah mengenang prestasi akademik. Namun bagi saya, mengenang “prestasi” non akademik sering lebih menyenangkan. 

Saat SD, saya pernah dihukum berdiri di samping tiang bendera di bawah terik matahari. Penyebabnya saat menyanyikan lagu daerah bersama-sama, saya hanya mengikuti ujung-ujungnya saja. Guru yang menghukum, sangat paham bahwa menghukum saya tak begitu beresiko. Beliau adalah teman main catur almarhum ayah saya. Paling ayah saya akan bilang, bagus juga dihukum, biar sehat kena sinar matahari.

Saat SMP, saya pernah di-skors karena mempengaruhi teman-teman saya untuk pulang lebih awal saat menyiapkan acara 17-an, sementara masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Waktu itu alasan saya semata karena saya lihat kawan-kawan sudah kelelahan.

Saat SMA, prestasi non akademik saya tak jauh dari tiang bendera. Bersama teman sekelas saya, mas Supriadi Sudarsono, kami dihukum untuk melakukan upacara bendera berdua saja. Penyebabnya, saat yang lain mengikuti upacara dengan khidmat, kami mengerjakan PR Kimia di warung kopi sebelah sekolah. Itu bukan sembarang PR, jawaban yang harus ditulis hampir 1 buku tulis penuh, dan entah apa sebabnya waktu itu kami lupa mengingat PR tersebut. Awalnya kami seperti hendak lolos dari pemeriksaan. Namun siasat kami berantakan saat tak mampu menjawab pertanyaan sederhana, siapa yang menjadi inspektur upacara.

Walaupun bandel, sesungguhnya kami sangat menghormati guru dan mencintai pendidikan. Bahkan rekan saya itu, Mas Pri, memilih berkarir sebagai pendidik sejak lulus kuliah hingga saat ini.

Selamat Hari Guru Nasional. Semoga Tuhan selalu melimpahkan kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan untuk para guru yang telah berjuang luar biasa, mendidik dan menyiapkan generasi muda bangsa.