Gerimis. Pulang sholat Jumat, disambung makan siang, lalu jalan kaki di tengah gerimis menuju kantor. Tak jauh. Hanya sekira 200 meter saja. Seperti halnya yang orang lain lakukan, langkah dipercepat, sambil berusaha menutup kepala seadanya. Ah, mengapa kita makin berjarak dengan gerimis?
Dulu, dulu sekali, gerimis adalah tanda untuk siap-siap keluar rumah. Ketika hujan sudah turun dengan deras, kami semua sudah di luar rumah. Entah sekedar lari keliling kampung, atau berkumpul di tanah lapang bermain bola. Tak terkira riangnya. Berlari cepat menggiring bola, ternyata bolanya tertinggal di belakang, terjebak di genangan basah. Kini, anak-anak jauh dari gerimis. Atau tepatnya, kita telah menjauhkan anak-anak kita dari gerimis. Bagi kita kini gerimis telah menjadi jahat. Gerimis telah kita anggap monster; menghadirkan flu, demam, dan meriang berkepanjangan.