Satu waktu, entah tahun kapan itu, saya menonton atlet putra nasional bulutangkis berlaga di tivi. Waktu itu anak saya baru dua dan masih kecil. Atlet itu, yang tidak usah saya sebut namanya, memang nampak kurang bergairah. Malas mengejar bola, dan klemak-klemek. Tentu, itu hanya pandangan subjektif saya. Boleh jadi memang ia sedang menjalankan strategi khusus. Hanya saja saya menjadi sangat gemas. Sepanjang pertandingan saya ngomel-ngomel tidak karuan. Hingga puncaknya ia kalah dengan telak. Sayapun lantang berteriak, “Sudah, pulang kampung saja kamu. Sana buka counter handphone saja. Gak usah jadi atlet!”
Tiba-tiba istri saya yang saya kira sudah tidur keluar dari kamar memegangi perutnya yang kaku. Matanya berair menahan tawa. Rupanya ia menguping saya yang ngomel-ngomel sepanjang pertandingan. Mungkin ia tak habis pikir apa hubungannya bulutangkis dengan counter handphone. Seperti dia, saya juga bingung.