Sekumpulan bocah sedang bermain riang di Jolo, Filipina Selatan, ketika dua orang berboncengan motor membuang sebuah bungkusan di tengah mereka. Kejadian tanggal 25 April 2016 itu akan terus membekas di ingatan mereka. Bungkusan itu ternyata berisi kepala manusia. Kepala John Ridsdel, warga Kanada yang dipenggal oleh kelompok militan Abu Sayyaf.
Kejadian ini tentu membuat miris. Tanggal 26 Maret 2016, 10 WNI dikabarkan telah diculik oleh kelompok Abu Sayyaf. Dua pekan kemudian, ada 4 WNI lagi yang diculik. Mengingat yang terjadi pada Ridsdel, kita sadar betapa jarak saudara kita yang disandera itu hanya setipis kertas dengan kematian.
Karena itu, saya tak paham, sungguh tak paham. Ketika pada 1 Mei 2016 akhirnya pemerintah dengan segala daya upaya dan kerjasama dengan berbagai pihak berhasil membebaskan 10 sandera, ada sebagian orang yang lebih memilih untuk sinis dan sibuk dengan pertanyaan, bayar tebusan atau tidak?
Saya memilih untuk mensyukuri dengan penuh empati kepada korban dan keluarga korban. Pembebasan itu tentu telah memakan upaya luar biasa baik jalur formal maupun informal sebagaimana dikatakan presiden. Pembebasan sandra hanya mengenal 3 pilihan: turuti, konfrontasi dengan kekerasan, atau negosiasi. Apapun yang ditempuh pemerintah terserah, jauh di atas semua itu, kembalinya para sandera dalam kondisi hidup jauh lebih berharga dan layak disyukuri. Saya percaya pemerintah telah berusaha melakukan yang terbaik yang bisa ditempuh. Dengan alasannya masing-masing saya percaya tak semua upaya dapat dijelaskan ke publik lalu menjadi konsumsi tayangan infotainment.