Kulitnya gelap. Rambutnya menantang langit. Tapi setidaknya, ia tak memakai anting-anting.
“Masih sekolah?”
“Masih om. Di Karangasam.”
“Kelas berapa?”
“Kelas empat.”
Ia, bocah lelaki itu, beranjak pergi sambil memeluk ukulele-nya. Senja telah memuram, malam baru saja mulai di traffic light dan sepanjang Air Hitam.
Jelas ia tengah berdiri di persimpangan. Kehidupan jalanan bisa menjadikannya sampah. Tapi, jika benar melangkah, ia kelak bisa saja menjadi tokoh dengan cerita hidup yang hebat.
Semoga Tuhan melindungi langkahnya.[]