Pelan tapi pasti, dongeng menghilang dari rumah kita. Mungkin itu sebabnya kini kehidupan kita semakin kering. Buat apa kita mendongeng untuk anak, jika televisi dan gadget mampu melakukannya lebih baik dari kita?
Biarlah, saya tetap saja menggemari dongeng.

Dulu, dari tanah Arab, muncul dua tokoh yang sangat populer. Abu Nawas dan Nashrudin Hoja. Menurut berbagai sumber, mereka adalah tokoh nyata. Abu Nawas hidup dalam masa gemerlap kota Bagdad, kota seribu satu malam. Nashrudin hidup beberapa ratus tahun kemudian, berlatar budaya Turki dan sekitarnya. Abu Nawas dan Nashrudin memiliki kesamaan, tokoh nyata dengan kisah improvisasi segar yang sebagian mungkin fiktif.

Jauh dari tanah Arab, orang Surabaya memilih cara berbeda untuk tertawa. Mereka menciptakan tokoh fiktif bernama Wonokairun. Dalam kerasnya kehidupan Surabaya, dengan orang-orang yang menyukai berbicara apa adanya, salah satu cara efektif untuk bergembira adalah menertawakan diri sendiri. Berbeda dengan Abu Nawas dan Hoja, Wonokairun adalah tokoh fiktif, namun dengan humor yang sebagian besar kejadian sehari-hari dalam masyarakat.

Agak mirip dengan Wonokairun, Singapura sebagai negara kecil tapi sangat maju di Asia Tenggara, memiliki tokoh Tan Kok Beng alias Ah Beng. Di tengah kehidupan modern dan serba canggih, maka cara mudah untuk bergembira adalah bercerita tentang kekonyolan. Bacalah kisah Ah Beng yang bertebaran di internet, pasti sulit untuk tidak ngakak.

Abu Nawas, Hoja, Wonokairun, dan Ah Beng, adalah tokoh-tokoh dengan kisah segar yang bisa menjaga agar hidup kita tidak kering, kaku, dan tidak berputar hanya soal uang, teknologi, dan memburu kekuasaan.

Tapi sebenarnya di tanah Jawa, ada seorang tokoh yang kurang dikenal tapi memiliki kesegaran yang berbeda. Namanya Saridin. Ia diyakini tokoh nyata yang dimakamkan di desa Landoh, Kabupaten Pati. Jika Abu Nawas dan Hoja mengangkat tema kecerdikan, sementara Wonokairun dan Ah Beng berkisah tentang kekonyolan yang modern, maka Saridin adalah tentang keluguan, selugu-lugunya orang kampung yang paling lugu. Saridin adalah orang yang sangat taat kepada Tuhan dan gurunya. Ia adalah murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam kisah keluguannya, Saridin memiliki kesaktian yang ia sendiri tak pernah memikirkannya. Sebagai ABG tahun 80-an, saya dulu sangat gemar mendengarkan kisah Saridin dalam siaran ketoprak di radio transistor sambil berharap ayah tidak memindahkan frekuensinya ke siaran lain. Tapi untunglah ayah juga penggemar Saridin.

Media televisi, gadget, dan internet, kini telah mengepung dan memanjakan kita. Tapi saya tetap menyukai dan merindukan dongeng, yang lebih memanusiakan. Ah, tapi itu pastilah karena saya ABG tahun 80-an, bukan ABG jaman sekarang.