Beras impor segera datang, dan tetap saja harga beras naik, itu fakta. Kita mendatangkan beras dari negara lain, membayar biaya angkut, dan jatuhnya harga beras masih di bawah harga beras lokal, itu juga fakta. Tapi, saya tidak ingin masuk ke wilayah para spekulan atau ikut-ikutan menyalahkan Pak Menteri Pertanian. Saya mencoba untuk berbicara dari sisi ekonomi, meskipun barangkali saya tidak seberapa paham tentang teori ekonomi.

Tapi kenapa beras import mesti terkait dengan formalin, lebih parah lagi, apa hubungannya dengan uang kertas?

Saya ingin mengajak untuk berpikir mundur dulu, ke tahun-tahun yang barangkali kita bahkan belum lahir. Setelah melewati masa pasar barter, manusia membuat uang logam untuk alat tukar, biasanya dari emas atau perak. Uang logam ini memiliki nilai “intrinsik” yang sama dengan nilai tukarnya. Maksudnya begini, emas seberat 1 gram dibuat jadi uang logam dengan nilai tukar Rp 100.000,-. Maka, jika suatu saat kita bosan dengan bentuknya, kita lebur jadi emas kembali, kita jual juga akan seharga Rp 100.000,-. Tapi, dalam perkembangan lebih lanjut, uang logam ini dianggap kurang praktis. Bayangkan jika satu saat kita mau transaksi harus membawa uang logam seberat 10 kg? Maka muncullah alat tukar baru yaitu uang kertas. Uang ini jauh lebih praktis tapi nilai intrinsik-nya jauh lebih kecil dari nilai tukarnya.

Konon pada awalnya, setiap penerbitan uang kertas, selalu disertai jaminan, atau semacam agunan. Jika misalnya diterbitkan uang kertas Rp 50,- maka pada saat yang sama si penerbit uang akan menyimpan emas di brankas dengan nilai yang sama. Tapi pada perkembangannya, tidak demikian. Uang kertas bisa diterbitkan dengan hanya berdasarkan sebuah jaminan keabsahan oleh lembaga pengesah yaitu pemegang otoritas moneter, kalau di Indonesia adalah BI. Jadi tidak ada lagi barang jaminan yang diperlukan untuk menerbitkan uang kertas. Jumlah uang kertas yang beredar, idealnya adalah sebanyak nilai barang yang bisa diperdagangkan. Taruhlah di satu negara ada sebanyak 10 barang yang bisa diperdagangkan dengan total nilai Rp 10,-, maka idealnya jumlah uang yang beredar juga Rp 10,-, sehingga masing-masing barang senilai Rp 1,-. Tetapi jika misalnya uang kertas yang diterbitkan sebanyak Rp 20,-, maka tiap barang harganya menjadi Rp 2,- dan inilah titik awal sebuah penyakit yang disebut inflasi. Pasar telah kelebihan alat tukar! Dan inflasi mirip penyakit yang menggerogoti pelan-pelan dan baru terasa ketika sudah ada pada stadium tertentu. Saya tidak tahu apakah otoritas moneter di negara kita telah dengan sangat ketat dan benar mengatur penerbitan dan peredaran uang kertas, tapi yang saya pasti adalah, masyarakat awam seperti saya ternyata tidak punya kemampuan untuk mengetahui itu! Seorang teman bahkan berkelakar, untuk menggaji para direksi BI yang ratusan juta, gampang saja, cetak saja uang baru!

Dalam rangka mengatasai inflasi, atau mengatasi kelebihan uang di pasar, maka salah satu cara yang umum ditempuh adalah dengan menaikkan suku bunga. Bank-bank, dengan dimotori oleh otoritas moneter (BI), menaikkan suku bunga dengan signifikan. Dan ketika suku bunga sedemikian tinggi, mendekati margin usaha sektor riil, maka masyarakat akan ramai-ramai menyimpan uangnya di bank, sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dari masyarakat ke bank. Tapi cara ini juga tidak seberapa mujarab untuk sebuah penyakit yang bernama inflasi. Dengan tingginya buka simpanan maka akan semakin tinggi juga bunga pinjaman. Akibatnya, alokasi pembayaran kredit ke bank di perusahaan-perusahaan akan membengkak, dan memaksa pengusaha untuk memutar otak untuk menurunkan biaya yang lain, dan salah satunya yang barangkali bisa diterima adalah dengan tidak menaikkan gaji buruh, dan kalau perlu mengurangi fasilitas yang ada.

Dampak yang lebih jauh lagi dari tingginya bunga pinjaman adalah menurunnya kemampuan produksi, karena perusahaan kewalahan untuk membayar pinjaman ke bank. Turunnya kemampuan produksi akan membuat jumlah barang yang beredar di pasar menjadi berkurang. Jadi meski uang berkurang, barang juga berkurang sehingga tetap saja terjadi inflasi.

Oke, tapi itu uang kertas, lantas apa hubungannya dengan formalin?

Sebenarnya saya tidak hanya ingin menulis formalin, tapi juga flu burung dan antrax, tapi jika saya cantumkan itu maka judul tulisan saya akan kepanjangan. Begini, ketika inflasi terus menyerang kita, dan senjata suku bunga juga tidak mempan, dan kita misalnya menjadi pemegang otoritas maka kita pasti akan berupaya keras mencari alternatif lain. Formalin, meskipun efeknya ke tubuh sedang diperdebatkan oleh berbagai kalangan, secara nyata telah mempengaruhi pasar. Beberapa barang dagangan, mulai dari ayam, ikan -dari yang nampak segar sampai yang asin-, mie basah, tahu dan beberapa barang lain telah dihindari oleh pembeli, yang artinya permintaan turun. Maka bisa ditebak harga bahan-bahan makanan tersebut akan anjlok (meskipun ini menaikkan dengan sangat luar biasa harga ikan mas, karena dijual dalam kondisi hidup). Harga turun, maka inflasi akan turun pula.

Flu burung, dalam konteks pasar, juga telah menurunkan harga daging ayam, maka mestinya inflasi bisa turun. Antrax, sekali lagi dalam konteks pasar, juga telah menurunkan harga daging sapi, maka mestinya inflasi bisa turun. Impor beras, dengan harga jual yang jatuhnya lebih rendah, diharapkan juga akan menurunkan inflasi.

Apakah lantas dengan itu semua inflasi bisa ditekan? Belum tentu, tergantung kepercayaan para pembeli. Dan juga tak boleh dilupakan, untuk beberapa bahan pokok, salah satunya beras, permintaan akan selalu tetap tinggi. Ini urusan perut bung! Dan faktor lain, yang juga bisa sangat berpengaruh adalah para “pengatur” harga, termasuk di dalamnya adalah para spekulan.

Yang terakhir, apakah dengan tulisan ini saya hendak menuduh beberapa hal di atas adalah sesuatu yang disengaja? Demi menurunkan inflasi? Tentu saja tidak! Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Hal-hal tersebut belum tentu benar, sekaligus belum tentu tidak benar. Saya hanya ingin mengatakan dengan tegas, bahwa hanya karena saya orang awam, bukan berarti saya tidak boleh melakukan otak-atik teori ekonomi. Apalagi di saat seperti ini, di saat saya menyadari bahwa justru akibat inflasi, sebagai orang swasta saya harus menerima salah satu kemungkinan buruk tahun ini: tidak naik gaji .. []