Saya bukanlah ahli auto-identification. Saya ingin menulis tentang barcode semata karena benda ini menarik saja. Berawal pada beberapa tahun yang lalu, sebuah software house kecil, yang kebetulan saya menjadi salah satu konsultannya, sedang membangun sistem informasi untuk retail. Tentu saja perlu barcode.

 

Pada masa itu, barcode sebenarnya juga bukan barang baru. Hanya saja kami memang belum pernah membuat program yang menerapkan barcode. Untuk research, akhirnya kami membeli satu buah barcode dengan model handy. Bentuknya mirip pistol, harganya kami pilih yang paling murah. Beberapa hari setelah kedatangan alat itu, anak-anak programmer seperti mendapat mainan baru. Semua yang ada barcode-nya di-scan. Mulai dari bungkus rokok, sampai mencegat karyawati yang baru pulang belanja di supermarket. Tentu bukan untuk men-scan si karyawati, tapi label-label barcode di barang bawaannya. Lalu kamipun mulai akrab dengan code-code barcode. Simulasi label barcode kami cetak dengan menggunakan printer LX-300 dan ajaib ternyata masih bisa dibaca. Dua bulan kemudian kami sudah mampu membuat modul kecil untuk retail yang di dalamnya langsung menggantikan fungsi cash register.

 

Beberapa tahun kemudian, ketika hadir di salah satu acara seminar barcode, saya baru mengenal bahwa barcode ada yang dua dimensi. Sayang sampai sekarang saya belum pernah implementasi barcode dua dimensi.

 

Urusan dengan barcode berikutnya, adalah di perusahaan kayu tempat saya bekerja. Salah satu tuntutan untuk sertifikasi yang sedang dikejar adalah impkementasi barcode. Saya agak terperangah. Bukan apa, kalau barcodenya sih saya sudah agak familiar. Tapi agak sulit membayangkan bahwa barcode akan ditempelkan pada batang-batang kayu di hutan sana.

 

Kayu-kayu yang akan ditempeli barcode ada di hutan yang jaraknya sekitar 100 km dari sungai Mahakam. kayu-kayu itu akan dirakit, dan melewati anak sungai kecil sebelum sampai di Mahakam. Kemudian disusun lagi dalam rakit yang lebih besar dan selanjutnya menyusuri sungai Mahakam sejauh lebih dari 300 km. Pertanyaan yang mengganggu di benak saya, ketika sampai di lokasi pabrik, apa masih bisa kebaca barcodenya?

 

Rupanya saya tak perlu khawatir, tim konsultan ternyata telah menyiapkan bahan khusus yang memang dirancang untuk medan seperti itu. Dari hasil uji coba, memang ada beberapa yang rusak. Tetapi dengan melakukan beberapa perbaikan pada posisi penempelan, jumlah yang rusak makin sedikit.

 

Ketika sedang mengajarkan cara pemakaian barcode reader, ada seorang peserta yang bertanya, apakah barcode tersebut bisa digunakan waktu malam hari di hutan? Semula saya menyangka peserta ini sedang bercanda, sampai ia menjelaskan duduk perkaranya. Ternyata karena sering dikejar target, mereka gunakan waktu siang untuk kegiatan fisik seperti felling, hauling, skidding dan pekerjaan fisik lainnya. Malamnya biasa dipakai untuk pekerjaan administrasi. Wah, saya belum bisa menjawab. Cara terbaik adalah membuktikannya langsung. Maka lampu ruanganpun kami padamkan total, lalu saya mengarahkan barcode ke tag plate yang akan dibaca. Ternyata barcode bisa membaca sempurna. Masalahnya justru ada pada mata saya. Saya tidak bisa membaca keypad untuk memasukkan data pendukung seperti lokasi dan jenis kayu. Rupanya keypadnya yang tidak didisain untuk bekerja malam hari. Maka, saya katakan bahwa, barcode bisa membaca dalam gelap, tapi anda juga perlu membawa senter untuk menerangi keypad agar bisa mengetik.

Saya mengakhiri kelas pelatihan itu dengan tetap menyisakan rasa geli. Apa ada ya orang yang rela malam-malam men-scan barcode di tumpukan kayu, sambil menahan gigitan nyamuk?

 

Akhirnya, barcode benar-benar telah menembus hutan belantara!