Computerworld dalam edisi Mei 2007 memasukkan PowerBuilder dalam Top 10 Dying Computer Skill. Tentu banyak programmer PowerBuilder yang menolak keras. Termasuk saya. Tapi, jika ini benar terjadi (semoga saja tidak), maka itu bukanlah karena development tools ini tidak bagus. Dalam dunia software, terkadang kualitas baikpun tidak cukup. Diperlukan sejumlah pendukung lain seperti marketing, third party, dan juga barangkali sebuah kekuasaan ekonomi.

PowerBuilder memiliki banyak kelengkapan untuk dapat disebut sebagai the real OOP, inheritance, polymorphism, dan encapsulation. PowerBuilder juga sebuah RAD (rapid application development) yang sangat bermanfaat ketika waktu yang disediakan untuk programmer tidak banyak.

Memang, PowerBuilder bukanlah tools yang populer di Indonesia. Setidaknya jika dilihat dari jumlah programmer yang menguasai. Harga PB juga tidak murah, bahkan trainingnya. Ketika belajar PowerBuilder tahun 1997, di sebuah lembaga pendidikan di Jakarta (di jalan Cideng, kini sudah hilang entah kemana), untuk training PB 5.0 selama 5 hari biayanya US$ 2,200. Pada saat yang sama, harga training development tools lain jauh lebih murah.

Harga yang mahal serta penggarapan marketing yang kurang maksimal, nampaknya adalah sedikit dari beberapa faktor yang membuat PowerBuilder kalah bersaing. Faktor teknikal, memang ada juga hal-hal yang dapat dituding, seperti misalnya lambannya PowerBuilder mengantisipasi era web-based. Namun, hal teknikal ini jika dicermati pada software kompetitor, masing-masing juga akan memiliki kelemahan. Termasuk software yang saat ini paling populer sekalipun.

Dulu, walau tidak menggunakan alat ukur dan penelitian yang baik, saya dan beberapa kawan mencoba membuat perbandingan dari beberapa development tools. Ada 3 yang kami pilih yaitu: Borland Delphi, Visual Basic, dan PowerBuilder. Hasil secara kasarnya adalah: Delphi unggul performa, VB unggul kompabilitas, dan PB unggul dalam kecepatan development (RAD).

Walau unggul dalam kecepatan membangun, tapi PB memiliki kekurangan dalam performa. Dalam model aplikasi yang sama, cukup lambat runningnya ketika dijalankan pada standar PC waktu itu. Dan inilah alasan ketika PB memiliki satu modul training yang bernama Building Performance.

Namun urusan performa lambat ini terselesaikan dengan mudah, ketika teknologi hardware berkembang sangat cepat di luar yang diduga. Faktanya dalam sebuah aplikasi yang dibangun, selisih performa dalam hitungan teknis relatif tidak dirasa oleh user. Dengan beberapa kelebihan yang dimiliki, maka masalah performance ini menjadi tertutupi.

Walau agak lambat hadir di kalangan programmer tanah air, sebenarnya PowerBuilder Version 1.0 telah dirilis sejak tahun 1990 oleh Powersoft. Tahun 1995, Powersoft merger dengan Sybase, hingga saat ini dirilis versi terbaru PB Version 11. Konsep OOP serta RAD yang diandalkan oleh PowerBuilder membuat beberapa programmer tertarik beralih ke PB.

Ketatnya persaingan di industri software development mulai menunjukkan perubahan menyolok ketika Microsoft merilis .NET. Delphi pun tersungkur, demikian pula nampaknya PowerBuilder. Kebutuhan aplikasi yang running di wide area network memberikan porsi keuntungan pada web-based programming.

Rasanya semua programmer PB sepakat bahwa akan sangat disayangkan jika apa yang ditulis oleh Computerworld jadi kenyataan. Menyamakan programmer PB dengan programmer COBOL tentu akan sangat pahit mengingat Sybase juga terus membuat release terbaru.

Jadi, mari kita selamatkan PowerBuilder dengan terus menggunakan tools ini. Walau bukan open source, tapi peran komunitas tetap sangat berpengaruh. Toh, pada dasarnya, konsumen juga secara umum tidak peduli pada tools tetapi pada solusi yang dihadirkan.

Terus menggunakan dan berdiskusi tentang PowerBuilder adalah dukungan nyata pada kelestarian PowerBuilder. Tentunya kunci akhir tetap pada upaya dan strategi Sybase dalam riset dan marketing.

Mari selamatkan PowerBuilder! []