Politik rupanya menghadirkan pula penyakit kronis, penyakit menahun. Salah besar ketika saya mengira bahwa tingkat rasionalitas pendukung politik akan serupa dengan pendukung fanatik sepakbola. Fanatisme pendukung sepakbola dalam lingkup pergaulan saya memang menggebu-nggebu, sering tidak realistis juga, namun mudah sekali diselesaikan di warung kopi dalam suasana canda. Pendukung fanatik sepakbola juga sering kritis terhadap klub yang didukung. Mereka bisa mengkritik pemain, pelatih, dan apapun yang ada di klub, dengan rasa cinta yang bahkan lebih tinggi dari pemilik klub.

Dalam politik, tak seperti itu. Politik melahirkan dua lapis generasi keliru. Pertama, lahirnya politikus yang kesetiaannya bertarif rupiah. Kedua, lahirnya generasi pendukung dengan penyakit kronis. Penyakit yang menyerang diam-diam tetapi sangat jahat sebab bisa membuat orang yang berpendidikan berubah menjadi sangat tidak rasional. Penyakit ini tak selalu muncul, namun menjadi sangat terlihat ketika orang-orang dalam aliran politik yang didukung berbuat salah. Penderita penyakit kronis ini, selalu berupaya menemukan cara pembelaan dengan cara apapun. Mulai dari upaya menunjukkan kekeliruan lawan politik agar sepadan dengan kesalahan pihaknya, serta upaya menutupi, memutar balik, atau apapun agar nampak kesalahan itu bukanlah kesalahan. Pada tingkat tertentu, bahkan bisa membangun opini sehingga orang yang benar menjadi nampak salah. 

Namun, harus diakui bahwa para politikus yang demikian ini berjasa pada kita. Sebab, segala upaya yang mereka lakukan, seperti mimik kesungguhan ketika sedang berbohong, suara sedih bahkan air mata seolah mereka orang yang dizalimi, atau suara yang berapi-api dengan pembelaan yang tidak rasional, sungguh sangat lucu dan menghibur seperti tontonan lawak. Bukankah kita memang perlu hiburan?