Puisi Y. Wibisono

Kepada pasir, tempat telunjukmu menggores,
ia bisikkan: “Pandangi lekat-lekat paras
bidadari itu sebab kelak mungkin ia akan
kembali ke sini. Jika kau takut tak mengenali,
ingat saja ia bersuara lucu.”

Ada yang tertinggal di pantai Carita.
Angin malam dan debur ombak. Juga
sebentuk wajah pualam yang bersinar.
Langit dan laut tak lagi melukis garis
pembatas. Secercah cahaya kapal seperti
tak beranjak. Sia-sia mencari kerlip
bintang. Angin malam telah membawanya
pergi entah kemana. Berganti kemilau yang
berkumpul di kerjap bola mata.

Dingin ombak memercik di wajah malam.
Meninggalkan garis-garis basah yang
mengaburkan warna. Aroma laut mencengkeram
berbaur dengan harum seteguk minum yang
kau tawarkan. Lalu lelaki itu kepayang.
Entah kepada anggurmu atau kepada kerjap
basah mata yang menyimpan cahaya bintang.

Dan setelahnya adalah hening.
Bayangmu, lelaki itu, dan gelas
beraroma anggur merah darah,
terhampar bisu di pasir kering.

Pantai Carita, penghujung 2007