Namanya mutingia calabura. Sering disebut jamaican cherry. Di Kalimantan disebut ceri, tapi saya biasa menyebutnya dengan panggilan sederhana: kersen. Ini buah favorit saya waktu kecil. Luar biasa lezat. Lagipula selalu gratis, tinggal memanjat di halaman sekolah.
Ternyata di ujung perumahan saya ada buah kersen yang lebat. Saya rutin mengajak putri bungsu saya untuk memetiknya, menggunakan penggalah khusus yang saya siapkan. Anak saya ajak, agar tak terlalu terlihat kalau sebenarnya saya yang mau. Putri saya tak terlalu suka buahnya, ia hanya suka proses memetiknya.
Tapi, pertama menyantap kersen setelah sekian tahun tidak melakukan, membuat saya sangat terkejut. Saya tak langsung menemukan rasa lezatnya. Buahnya hambar. Saya gugup. Kersen tentu tak berubah rasanya. Pasti lidah saya yang berubah. Lalu saya ambil nafas dalam dan mulai menyantapnya dengan penuh perasaan. Pelan-pelan. Akhirnya saya mulai bisa menemukan lezatnya kersen. Tak hanya teksturnya yang lembut, buah ini juga memiliki kelezatan yang sangat samar, jauh tersembunyi di dalam daging buahnya yang mungil. Tidak seperti buah lain yang rasanya tegas.
Kembali soal lidah. Barangkali lidah kita mulai berubah tanpa kita sadari. Kita terlalu sering menyantap makanan dengan rasa tiruan. Lalu, pelan tapi pasti lidah kita mulai kehilangan kepekaannya. Menyadari ini saya sungguh takut. Jika mulai kehilangan kepekaan pada apa yang saya rasakan, jangan-jangan saya juga mulai kehilangan kepekaan pada apa yang saya ucapkan. Saya mulai kehilangan kemampuan untuk mengukur apakah yang keluar dari lidah saya membuat tidak nyaman atau bahkan menyakiti hati orang lain. Dan saya lebih takut lagi ketika menduga imbasnya ke hal lain. Di media sosial, otak kita akan berusaha memindahkan dari apa yang biasa diucapkan ujung lidah ke ujung jari berupa tulisan yang kita bagikan. Dan karenanya, tulisan yang keluar dari ujung jari kita adalah sindiran, cacian, dan hinaan kepada tokoh yang tidak kita dukung. Dan lebih kronis lagi ketika kita menganggap bahwa kemampuan untuk menemukan kekurangan lawan lalu mengolahnya sebagai bahan hinaan, adalah sebuah kecerdasan.
Saya harus berusaha lebih keras lagi untuk mampu menikmati buah kersen.