Akhir minggu kemarin, melayat ke sebuah rumah duka. Setiap kematian selalu menyisakan kesedihan. Namun kali ini ditambah goresan yang menusuk. Rumah duka itu milik seorang pengusaha di bidang pendidikan informal. Seorang pria yang tangguh, yang pertemuan dengannya 25 tahun lalu membuat saya yang anak muda memutuskan untuk tinggal di Samarinda, walau tanpa sesiapapun yang dikenal. Meski pada akhirnya saya memilih merintis karir di anak perusahaan Astra Group, namun silaturahmi tetap berjalan dengan baik. Beliau saya anggap orang tua saya di sini.

Pengusaha itu memiliki putra tunggal, seorang anak laki-laki. Saya mengenalnya sejak ia masih sekolah dasar. Seorang bocah yang tampan dan murah senyum. Sebagai calon putra mahkota di keluarga, ia disiapkan dengan baik agar siap meneruskan usaha ayahnya yang mulai melebar tak hanya di bidang pendidikan informal. Selepas SMA, ia kuliah di luar negeri. Setelah lulus, ia tetap menjadi pria muda yang ramah. Sayapun tetap memanggilnya dengan nama kesayangan seperti saat ia masih bocah kecil. Namun, dunia usaha tak selalu sejalan dengan teori. Pada akhirnya, ia memilih bekerja di perusahaan maskapai nasional di Jakarta. Ayahnya merestui dan meyakini bahwa itu bagian dari proses sebelum nantinya meneruskan estafet usaha keluarga.

Lalu, Jumat malam 25 Maret 2016, Tuhan berkehendak lain. Allah SWT memanggilnya di usia yang masih muda, mendahului kedua orang tuanya. Kabar yang sangat menyentak. Di rumah duka, ayahnya memegang tangan saya dengan gemetar dan berbisik: “Semua yang saya lakukan, semua kerja keras saya adalah untuk dia. Semua aset saya, semua badan usaha, telah saya alihnamakan ke dia. Hingga akhirnya Tuhan menunjukkan kepada saya, betapa ternyata yang bisa saya berikan kepadanya hanyalah selembar kain kafan.”

Tubuh tinggi besarnya yang dulu kokoh nampak merapuh. Semua yang hadir di ruangan tak kuasa menahan haru. Di dinding ruang tergantung potret seorang pria muda tampan berkacamata sedang tersenyum. Saya berharap ia bisa terus tersenyum di tempatnya yang baru. Lalu kami semua lebih banyak terdiam. Merenung, betapa apapun yang tertulis dalam Lauhul Mahfuds akan terjadi. Hidup tetaplah misteri, karenanya selalu menarik untuk diperjuangkan dan dijalani dengan sebaik-baiknya.