Paseban kadipaten Pati hening. Demikian hening sehingga suara burung-burung di luar paseban terdengar jelas. Keputusan Adipati Wasis Joyo Kusumo telah tegas disampaikan. Dengan lunglai, Saridin mendengarkan keputusan itu. Ia bersumpah tidak membunuh Branjung. Ia hanya menombak seekor harimau karena terancam. Sayangnya, harimau itu ternyata adalah Branjung yang sedang menyamar.
Kepada penjaganya yang mengantarnya ke bilik penjara, ia bertanya:
“Jika pas malam hari, aku kangen istri dan anakku Momok, bolehkan aku pulang?”
“Boleh saja. Asal bisa.”, jawab penjaga berkumis lebat itu sambil tersenyum sinis.
Saridin, orang kampung yang lugu itu, tak punya kekuatan apa-apa. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah kepasrahan dan doa. Maka murid terkasih kanjeng Sunan Kalijaga itupun hanya mampu pasrah dan berdoa di dalam bilik penjara.
Satu malam, penjaga terperanjat karena sel Saridin kosong. Gembok pintu jeruji besi masih terpasang dengan baik. Maka, kepala penjara segera menyiapkan pasukan untuk mencari Saridin di Landoh sepagi mungkin. Namun, pagi sebelum berangkat, penjaga melaporkan bahwa Saridin telah ada di selnya kembali sedang tertidur pulas.
Sang Adipati menarik nafas panjang saat menerima laporan. Sejak awal ia sudah mendapatkan wisik bahwa narapidana dari kampung ini bukan orang sembarangan. Tak ragu sedikitpun bahwa Saridin memang pulang malam itu menemui keluarganya. Dengan cara yang hanya Tuhan yang tahu. Tapi, ia adalah pimpinan tertinggi di kadipaten Pati yang harus memberikan rasa adil kepada warganya. Maka, segera ia minta seluruh punggawa kadipaten untuk membiarkannya sendirian. Ia perlu memikirkan dengan seksama, hukuman baru untuk Saridin.