Sebuah karya sastra adalah sesuatu yang indah, tak peduli apapun temanya. Setidaknya itulah yang umumnya ada dalam sastra Melayu, termasuk sastra Indonesia. Atas dasar hal itu, maka saya yakin bahwa Sang Guru Piano sulit untuk diterima oleh penikmat sastra tanah air. Maka, satu-satunya alasan saya untuk berkeras kepala membaca novel ini adalah karena sang penulis, Elfriede Jelinek, adalah penerima Nobel Sastra 2004.

Ketika karya sastra tanah air bercerita tentang kesedihan, kedukaan, dan penderitaan, umumnya penulis tetap akan menuturkan dalam bahasa yang indah. Bagi pembaca sastra yang terbiasa menikmati menu demikian, maka membaca Sang Guru Piano barangkali adalah suatu siksaan. Bahkan, novel ini masih terasa getir walau telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Atau, barangkali ini juga suatu keberhasilan bagi penerjemah (Arpani Harun) dan penyuntingnya (Ayu Utami) dalam mempertahankan kegarangan dari novel yang oleh Elizabeth Young dipuji sebagai “karya yang cemerlang dan maut” ini.

Sang Guru Piano berkisah tentang Erika Kohut, yang ketika siang hari adalah seorang Profesor yang mengajar musik piano di Konservatori Wina. Kegiatan siangnya penuh dengan alunan musik-musik yang agung. Namun kehidupan malamnya sungguh ironi, ia tenggelam dalam kehidupan seks sadomasokis yang sadis dan jorok, dalam hubungan cintanya dengan seorang muridnya yang bernama Walter Klemmer, dan juga hubungannya yang ganjil dengan ibu kandungnya sendiri, nyonya Kohut.

Secara tema, apa yang dikisahkan oleh Jelinek sebenarnya bukanlah sesuatu yang sangat luar biasa, atau setidaknya tema seperti ini juga sering kita jumpai dalam karya sastra tanah air. Namun, sesungguhnya cara bertutur Jelinek-lah yang membedakan semuanya.

Secara bentuk, novel ini bisa dibilang “kering” luar dalam. Dalam novel setebal 300 halaman ini, Jelinek juga meniadakan dialog dengan sapaan langsung. Konflik yang dibangun dituturkan begitu saja, tanpa rasa, gaya tutur yang kering dan sadis, sekasar perumpamaan yang dipilih. Karya ini serupa burung yang berbulu indah lalu seseorang mencabuti bulu-bulunya dan menggantinya dengan kawat-kawat dan benang hitam yang kasar, sehingga yang muncul adalah seekor cendrawasih dalam riasan gothic.

Membaca Sang Guru Piano memerlukan sebuah kesiapan. Jika tidak, maka ia akan hadir seperti seseorang yang sedang ingin santai, lalu kepadanya disuguhi berlembar-lembar soal matematika yang membosankan. Bosan. Ya, barangkali kata itu juga yang sedang ingin dibangun oleh Jelinek. Tentu saja rasa bosan yang berbeda dengan, misalnya, membaca karya seorang penulis pemula yang baru belajar diksi. Bosan yang muncul ketika membaca Sang Guru Piano adalah rasa bosan karena betapa sesuatu yang sederhana tidak segera dapat dipahami, betapa batas antara kenyataan dan ketidaknyataan dibuat kabur, betapa secara perlahan mulai kehilangan rasa. Membayangkan bagaimana Jelinek menulis novel ini, barangkali seperti ia sedang menerima pantangan, bahwa tak boleh ada keindahan, dan tak boleh ada rasa.

Seseorang yang terbiasa membaca cepat, lalu menemukan novel ini dan mengira ia telah mengerti apa yang ada di dalamnya dari membaca satu dua halaman, pastilah akan keliru. Di tangan orang lain, barangkali kita dapat berharap akan terjadi suguhan keindahan erotika percintaan sang guru piano dengan murid kesayangannya. Sebuah kisah percintaan dalam balutan musik yang syahdu. Atau setidaknya sebuah kisah sisi gelap seksualitas yang dapat memacu birahi pembaca seperti novel-novel “biru” yang beredar. Kedua hal itu tak akan kita jumpai dalam novel ini.

Jelinek menuturkan sesuatu dengan apa adanya seperti seharusnya hal itu terjadi dan hal itu dapat diserupakan dengan penceritaan kegiatan mekanis. Bercinta ya bercinta, bahwa ada alat vital di sana, itu hanya bagian dari proses yang dibutuhkan. Bersedih ya bersedih, derita ya derita, bahwa perlu airmata dan sesekali darah, juga siksaan, itu juga bagian dari proses. Jelas, bahwa Jelinek sedang berusaha meniadakan rasa.

Bagi anda yang terbiasa menikmati karya yang waras, maka barangkali cukup bijak untuk meletakkan buku ini dalam salah satu koleksi anda, walau tak harus membacanya. Namun bagi anda yang suka tantangan, satu petualangan yang cukup menarik untuk mencoba tenggelam dalam karya penulis pemenang nobel sastra ini.

Bagaimanapun, Sang Guru Piano adalah sebuah karya yang mendapat pengakuan luas, dari orang-orang yang serius dalam sastra, sebagai salah satu karya yang luar biasa. Semakin sering kita membaca bagian yang kering dari Sang Guru Piano, semakin kita menerima bahwa memang tidak banyak penulis yang mampu melakukan hal seperti apa yang dibuat Elfriede Jelinek. []