Lama tak menulis di sini. Semua tulisan berkumpul di kepala, dan hanya berputar-putar di situ, seperti janin yang tak segera ingin lahir.
Namun menyaksikan di layar kaca, dua janda pejuang yang sudah renta meneteskan airmata, tiba-tiba tergambar suasana masa lampau. Lebih dari tigapuluh tahun lalu, ketika almarhum ayah mengajak saya yang masih SD mengikuti reuni Yonif Gelatik, sebuah kumpulan para mantan pejuang. Jika kawan-kawan almarhum ayah ada yang masih hidup, entah bagaimana kondisinya sekarang.
Dua sajak ini, untuk dua janda pejuang yang menghadapi vonis (dan akhirnya bebas, alhamdulillah), dan juga untuk seluruh pahlawan Indonesia yang tersisihkan ..
VONIS
:dua janda pejuang
Apa artinya sebuah putusan, di ujung usia
yang telah renta? Tapi ini tentang kepedihan,
sepedih-pedihnya. Maka, tekad itu telah bulat penuh.
Membongkar kubur suami, mengais kerangka yang mungkin
tak utuh lagi.
Apa artinya sebuah gelar pejuang, ketika hanya
terukir pada medali mainan? Negeri yang bermuka dua,
tak pernah tulus menghargai pahlawannya. Di ujung usia
yang renta, yang tersisa tinggal harga diri, dan cinta
yang juga renta untuk pertiwi.
Samarinda, 26 Juli 2010
YANG TERSISIH DAN YANG TERBAKAR
:dua janda pejuang
Demikianlah kami selamatkan anak-anak itu
dari desingan peluru dari dentuman meriam
dengan dada kami yang menghadang pelor
menghadang meriam dengan bambu runcing dan
senapan rampasan. Dan tiba-tiba saja negeri ini
ada di tangan anak-anak itu lalu begitu saja
mengganti bambu runcing dan senapan rampasan
dengan buku undang-undang aturan dan segala macam
yang tak pernah mengenal cara menghitung harga
darah nyawa dan ratusan raga yang tak berkubur.
Lalu atas nama hukum, atas nama segala ilmu yang
ada di sekolah, mereka dengan sangat tegas menyulap
kami menjadi gelandangan pengotor pemandangan.
Dengan penuh kata manis menulis perang itu di
buku-buku pelajaran tapi membuang muka jauh-jauh
pada kami yang lumpuh buta dan segala macam
penyakit tua yang mengganggu selera makan siang.
Medan perang itu kini bernama ruang pengadilan
dan anak-anak itu terus mengumandangkan gerilya
bukan di tangsi-tangsi musuh tapi di
kantor-kantor megah menawar keadilan dengan
mata uang berbau nanah. Dulu telinga kami tuli
karena desingan peluru yang bising seperti hujan
di puncak musim. Kini, telinga-telinga tuli walau
tanpa perang, matahati-matahati buta walau tanpa
katarak.
Demikianlah kami selamatkan anak-anak itu dari
desingan peluru dari dentuman meriam dan kini
mereka mencipta meriam sendiri dan mengarahkan
moncongnya tegas-tegas pada tubuh tua kami.
Samarinda, 27 Juli 2010