Pahlawan dan gelandangan mungkin tak ada hubungan, tapi bisa juga ada. Seorang gelandangan bisa saja menjadi pahlawan, tapi seorang pahlawan pun sangat bisa menjadi gelandangan, paling tidak setelah ia tak lagi dianggap sebagai pahlawan. Tidak banyak manusia yang beruntung, menjadi pahlawan dan abadi, dengan cerita kepahlawanan yang dituturkan secara turun temurun. Tanpa sadar, kehidupan juga memisahkan antara kepahlawanan dan manusianya. Kita sering masih suka menceritakan kehebatan dan jasa seseorang, sementara di saat yang sama kita juga tidak mau tahu, bagaimana kehidupan orang tersebut andai dia masih ada.

Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Apakah kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang baik? Mungkin iya, soalnya kita punya sejumlah nama pahlawan yang diabadikan menjadi nama jalan atau nama tempat. Kita juga punya buku-buku sejarah yang menceritakan kepahlawanan dari mereka yang dianggap sebagai pahlawan. Bahkan, kita juga punya Taman Makam Pahlawan. Tapi barangkali kita juga harus mulai mereview ulang apa yang telah kita lakukan terhadap para pahlawan. Dulu Ellyas Pical adalah pahlawan. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi juara tinju dunia. Semua orang dengan bangga bercerita tentang dia. Tapi itu terjadi ketika ia masih mampu bertinju dengan baik. Setelah itu, secara umum bangsa ini lupa bahwa ia adalah pahlawan, atau setidaknya pernah menjadi pahlawan. Tapi ternyata Pical tak sendirian. Banyak Pical-Pical lain di bumi pertiwi ini. Seorang mantan atlet lari, melanjutkan karirnya sebagai pedagang asongan di halaman GOR Senayan. Toh ia masih berbangga, bakatnya sebagai pelari sangat berguna ketika menghindari Satpol PP. Beberapa waktu lalu, puluhan purnawirawan TNI dipersilakan angkat koper dari rumah yang mereka tinggali. Sebagian mereka benar-benar tak punya rumah lain, tak memiliki bisnis lain selain uang pensiun yang tak seberapa, dan dengan usia yang mulai senja mereka tak punya cukup kemampuan dan tenaga untuk hidup dengan lebih layak.[]