Bagian 8: Ibu dan Keluarga Besar

Jam matahariSelesai sholat Ied saya segera pamit ke kakak saya untuk menuju ke Durenan. Ke rumah Ibu. Selain untuk segera sungkem ke ibu di hari raya ini, saya juga harus mengejar jadwal ke sarean. Sudah menjadi tradisi di keluarga besar Durenan, selesai sholat Ied yang pertama dilakukan adalah ke sarean, tempat para leluhur dimakamkan.

Jarak dari tempat Mbak Lut ke Durenan kurang lebih 7 km, dan tepat saat saya datang ibu dan kakak saya yang nomor 3, mas Makmun, sedang bersiap berangkat ke sarean. Setelah sungkem, kami langsung berbaur bersama keluarga menuju ke sarean.

Sebenarnya letak sarean ini tidak jauh dari rumah ibu. Tetapi di tengahnya ada sungai sehingga kami harus memutar sehingga jaraknya menjadi lumayan jauh jika mau berjalan kaki. Kamipun menggunakan kendaraan dan tak lama kemudian tiba di sarean. Sebagian besar keluarga dan leluhur kami dimakamkan di sini. Almarhum ayah dan kakak tertua saya, Mas Munir, juga dimakamkan di sini.

Acara berdzikir segera dimulai, dipimpin oleh paman saya, Kyai Abdul Fatah Mu’in yang menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Babul Ulum. Para jamaah duduk melingkar menghadap ke satu makam yang agak terpisah dengan yang lain. Itu adalah makam mbah Mesir (Kyai Abdul Mahsyir). Beliau berjarak 5 generasi dengan saya. Jika menggunakan terminologi istilah Jawa, beliau adalah mbah canggah saya, atau mbah buyutnya orang tua saya. Ayah dan ibu saya memang ‘tunggal buyut’.

Soal panggilan canggah dan buyut, ini adalah kelebihan orang Jawa. Telah menyiapkan sistem panggilan beda generasi hingga 10 tingkatan ke atas dan 10 tingkatan ke bawah.

Demikianlah, kami berdoa bersama di tengah terik dan keheningan pemakaman tua. Acara dzikir di sarean selesai tepat ketika matahari mulai meninggi. Rombonganpun kembali ke rumah masing-masing. Tapi sebenarnya dengan arah yang sama, karena ibu memang tinggal dengan keluarga besar di tengah pondok pesantren kecil. Setidaknya ada 8 keluarga tinggal mengelilingi rumah induk, tempat tinggal almarhum kakek saya, Kiai Mu’in. Itu baru generasi ibu saya, belum terhitung dengan generasi di bawahnya, generasi angkatan saya yang sebagian juga tinggal di sana.

Setiap mengingat rumah induk ini, selalu ada dua benda tua yang saya kenang. Pertama adalah jam matahari yang terletak di halaman depan rumah, dan kedua adalah kentongan yang tergantung di teras bangunan. Jam matahari itu telah ada sejak saya masih kecil, pun kentongan di teras rumah. Kentongan ini akan dipukul saat masuk ke waktu sholat fardu 5 waktu. Suara kentongan akan menjadi trigger penanda bagi muadzin di masjid untuk adzan.

Merindukan ibu dan menemui ibu, bagi saya adalah dua hal yang berbeda. Terutama setelah orang tua saya memutuskan untuk tinggal di Durenan bersama keluarga besar sejak tahun 1986, setelah sebelumnya selalu berpindah tempat. Merindukan ibu adalah hal yang sangat pribadi, barangkali sebagai anak bungsu, mungkin dulu saya yang paling manja dengan ibu saya. Tapi menemui ibu, sulit untuk menjadi urusan pribadi. Menemui ibu berarti menemui keluarga besar.

Ibu sangat suka bercerita tentang keluarga besar, silsilah, serta mengenalkan dengan orang-orang yang masih mempunyai garis keluarga. Saya tak pernah benar-benar paham, biasanya saya manggut-manggut sambil tersenyum. Setelah 22 tahun merantau dari rumah dan jarang-jarang bisa berkumpul dengan ibu, maka saya lebih mementingkan makna pertemuan dengan ibu secara batiniah dibanding lahiriah. Saya menyadari selalu ada kilatan-kilatan energi luar biasa dari kata-kata seorang ibu. Tak peduli seberapa sederhana hal yang sedang beliau sampaikan. Energi inilah yang sedang ingin saya serap beberapa hari kebersamaan saya dengan ibu, walau dengan amat susah payah dan tertatih. Kadang, modernitas dan pengetahuan yang kita duga telah kita miliki, menjadi penghalang terbesar kita menemukan cahaya energi luar biasa itu.

Jujur, sejak dulu, apa yang disampaikan ibu serta pendapat-pendapat beliau, lebih sering menjadi hal yang begitu sulit saya terima dengan penalaran logika. Tapi, di luar segala hal-hal yang saya sulit sependapat dengan beliau, saya sungguh merasakan betapa mata batin seorang ibu kadang mampu menjangkau jauh dari yang mampu kita pikirkan, tak terbatas oleh sekat-sekat ruang. Ketika saya menelpon beliau dari jauh, atau sedang bertemu langsung, saya merasa dalam beberapa hal, ibu seperti bisa melihat apa yang terjadi.

Akan halnya kegemaran ibu untuk bercerita tentang keluarga besar, silsilah, dan saudara-saudara jauh yang perlu dikenal, kadang saya tidak pernah benar-benar bisa merekam.  Bagi saya, setiap keluarga tentu punya keluarga besar yang jika diurut terus akan menjadi sangat besar dan tak terbatas, hingga akhirnya semua bertemu di nabi Adam. Tapi, tentu ibu memiliki tujuan lain dari sekedar bercerita tentang keluarga. Saya menganggapnya sebagai satu isyarat, bahwa ada figur-figur dalam keluarga besar yang patut dijadikan contoh tauladan bagi anak cucu. Karena cerita ibu bagi saya sangat kompleks dan cenderung tidak beraturan, maka saya mencoba menelusurinya dari berbagai sumber, termasuk memanfaatkan teknologi. Dari semua penelusuran tersebut, pada generasi atas saya berhenti pada nama Kyai Yahudo yang dimakamkan di Nglorok, Pacitan. Banyak kisah tentang Mbah Yahudo ini yang ada kaitan dan dekat dengan Pangeran Diponegoro, tapi saya tidak mendapatkan sumber yang akurat. Kyai Yahudo ini adalah ayah dari Kyai Abdul Mahsyir (Mbah Mesir) yang menjadi tokoh sentral di Durenan yang punya pengaruh kuat pada beberapa pondok pesantren besar di Jawa Timur. Pada tahun 1990, saya bersama kakak sepupu saya, Gus Karim, pernah diajak oleh paman saya Kyai Abdul Fatah untuk mengunjungi makam Mbah Yahudo di Nglorok, Pacitan.

Kembali ke soal ketauladanan, yang saya yakin dari sisi itu ibu menceritakan agar anak cucunya kelak dapat mengenang dan meneladani, saya menemukan keterkaitan antara Mbah Mesir dengan beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Dari banyak sekali tokoh-tokoh keagamaan yang ada di pesantren tersebut, saya mencatat ada 2 orang tokoh yang luar biasa. Pertama adalah Kyai Ihsan Dahlan (1901-1952) dan kedua adalah Kyai Hamim Djazuli (1940-1993). Mereka berbeda generasi tetapi sama-sama mempunyai jalur keturunan dari Mbah Mesir.

Kyai Ihsan Dahlan adalah pengasuh pondok pesantren Jampes dan lebih dikenal sebagai Kyai Ihsan Jampes. Beliau adalah putra dari Kyai Dahlan, pendiri pondok pesantren tersebut. Dikisahkan, saat muda Kyai Ihsan ini perilakunya bandel hingga oleh orang tuanya diajak ziarah ke makam leluhurnya, Mbah Yahudo di Nglorok Pacitan. Dari ziarah tersebut, Kyai Ihsan mendapatkan isyarat teguran melalui mimpi dan mengubah arah hidupnya.

Kyai IhsanSelain sebagai pengasuh di pondok pesantren, beliau adalah seorang penulis yang luar biasa. Karya-karyanya beragam mulai dari ilmu tasawuf, ilmu falak, hingga membahas tentang hukum minum kopi dan merokok. Salah satu bukunya yang fenomenal adalah Siraj ath-Thalibin. Buku ini adalah sebuah syarah (komentar dan penjelasan) dari kitab tua Minhaj al-Abidin yang ditulis oleh Imam al-Ghazali pada awal tahun 1000 M. Siraj ath-Thalibin ditulis pada tahun 1933, dan menjadi bacaan populer di pondok pesantren dan pusat studi Islam, bahkan hingga di Al Azar, Kairo. Pada tahun 1934, penguasa Mesir saat itu, raja Faruk, mengirimkan utusan ke Jampes dan menawari Kyai Ihsan untuk menjadi pengajar di Universitas Al-Azar. Dengan halus, tawaran ini ditolak oleh beliau dan memilih untuk mengabdikan diri di pondok pesantren saja. Dalam perkembangannya, kitab Siraj ath-Thabiin tidak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, tetapi juga dipelajari di negara-negara non-muslim yang terdapat perguruan tinggi yang memiliki jurusan kajian Islam.

Satu waktu, rumah kami di Samarinda pernah kedatangan tamu seorang kyai muda dari Kediri. Ia datang bersama adik sepupu saya, Dik Yunus, dan dikenalkan sebagai Gus Ujang. Belakangan saya baru tahu, bahwa tamu ini adalah Kyai Ujang Ihsan, cucu dari Kyai Ihsan Dahlan. Gus Ujang rupanya sering keliling Kalimantan dan Sumatra, untuk bersilaturahmi dengan para alumni Pondok Pesantren Jampes.

Gus MiekTokoh kedua adalah Kyai Hamim Djazuli. Ia adalah putra dari Kyai Djazuli Utsman, pendiri pondok pesantren Ploso. Ibunya adalah putri dari Kyai Imam Mahyin, salah satu putra Mbah Mesir, jadi beliau masih sepupu dengan ibu. Jika Kyai Ihsan Jampes dikenal sebagai penulis kitab yang luar biasa, maka Kyai Hamim Djazuli adalah seorang ‘informal leader’ yang hebat. Mungkin nama Hamim Djazuli kurang dikenal, tapi jika disebut nama Gus Miek di kalangan masyarakat nahdliyin Jawa Timur, nama itu sangat fenomenal. Ada sebuah buku yang mengulas secara khusus kisah perjalanan hidup serta spiritualitas Gus Miek. Ditulis oleh Muhamad Nurul Ibad pada tahun 2007, berjudul Perjalanan dan Ajaran Gus Miek dan diterbitkan oleh Kelompok Penerbit LkiS, Yogyakarta.

Dalam buku ini banyak diulas hal-hal yang fenomenal dari diri Kyai Hamim Djazuli. Di luar hal-hal luar biasa dalam diri beliau, yang beberapa hal sulit diterima nalar,    -seperti umumnya kisah-kisah sejenis di kalangan pesantren-, Gus Miek adalah seorang pemimpin informal yang luar biasa. Beliau mendirikan dua organisasi tradisional, yaitu kelompok semaan Al-Quran JANTIKO, serta majelis dzikir Dzikrul Ghofilin (dzikir untuk orang-orang yang lupa). Setiap kali digelar acara, yang hadir ribuan orang, berebut untuk dapat bersalaman dengan Gus Miek. Saya tidak mengenal secara dekat, tetapi pernah mengikuti ketika acara haul Bani Mesir yang dipimpin Gus Miek.[]