Bagian 7: Lebaran dan Ayam Lodho
Sabtu, 18 Agustus 2012. Setelah dua hari di Kediri, kami melanjutkan perjalanan ke Trenggalek. Perjalanan sudah lebih mudah, karena tentu saja saya sudah sangat familiar dengan jalur jalan yang akan kami lewati. Memasuki kota Tulungagung, saya hanya melintas saja, dan langsung menuju ke arah Trenggalek.
Ada dua destinasi di Trenggalek ini, rumah ibu di Durenan, dan rumah kakak saya di Bandung. Jangan keliru, ini bukan Bandung yang kota besar di Jawa Barat, tapi sebuah kecamatan kecil yang masuk wilayah Tulungagung dan berbatasan langsung dengan Trenggalek. Memasuki Bandung, saya menelpon kakak saya, mengatakan kalau saya akan datang dan ingin menikmati malam takbiran di sana. Kakak saya ini, mbak Lut, adalah kakak nomor empat. Ia seorang guru. Walau urutannya tepat di atas saya, tapi kami berselisih usia 8 tahun. Ada seorang kakak lagi yang meninggal sejak bayi. Masa kecil saya lebih sering bersama mbak Lut dan kakak saya tertua yang sudah meninggal. Mbak Lut ini yang banyak mengurusi saya saat saya sekolah.
Akhirnya kamipun menutup hari terakhir ramadhan tahun ini di rumah Mbak Lut. Dan istimewanya, menu buka kami adalah ayam lodho setengah pedas. Ini menu favorit saya!
Malam itu kami melewati malam takbiran di Bandung sambil melepas rindu dengan keluarga kakak saya. Paginya kami sholat Ied di masjid yang tidak jauh dari situ. Masjid tersebut terletak di tengah pondok pesantren Jati Salam. Sebelum berangkat, kakak ipar saya mengatakan kalau pengasuh pondok pesantren tersebut adalah orang yang saya kenal. Saya penasaran. Ketika orangnya naik ke mimbar untuk khutbah, saya baru mengingat baik. Kiai Munir, pengasuh pondok pesantren Jati Salam ini, adalah kawan saya saat sama-sama menjadi santri di pondok pesantren Hidayatut Thullab, Kamulan. Bedanya, Kiai Munir adalah santri asli Hidayatut Thullab, sedangkan saya adalah santri yang numpang lewat saja.
Dalam usia remaja saya yang sedang penuh dengan pencarian jati diri waktu itu, saya nyantri di sana. Walaupun tempat tinggal orang tua saya sendiri juga sebuah pondok pesantren kecil. Ketika mondok saya menyamar dengan nama Badarruddin. Maka mas Munir yang kawan saya itu, juga mengenal saya dengan nama itu. Sampai akhirnya terbongkar saat kakak saya menikah, karena ia masih keluarga dengan kakak ipar saya.
Di ponpes Jati Salam, masih memegang tradisi yang sangat menarik. Saat berangkat sholat Ied, masing-masing keluarga yang tinggal di sekitar pondok pesantren membawa makanan ke masjid yang akan disantap bersama seusai sholat. Menunya sama, ingkung, sejenis ayam panggang dengan bumbu lodho tapi cenderung kering. Saat selesai sholat Ied, para jamaah langsung membentuk kelompok-kelompok dengan duduk melingkar. Masing-masing di tengah lingkaran terdapat nampan yang berisi sajian ingkung lengkap. Saya sendiri duduk di samping kiai Munir, posisi yang sangat strategis. Peserta dalam lingkaran tidak terlalu banyak, dan ingkungnya adalah ayam kampung besar, spesial untuk sang kiai. Momen yang sungguh sulit untuk saya lewatkan. Kepada kiai Munir sahabat saya ini, saya katakan bahwa tradisi ini sangat layak dilestarikan.[]