Bagian 6: Kediri – Hamparan Kebun, Ayam Bangkok, dan Angsa Gendut
Kamis, 16 Agustus 2013, kami meluncur ke Kediri. Jika wilayah Surabaya dan sekitarnya adalah wilayah ‘kekuasaan’ istri, maka kini saatnya masuk ke wilayah ‘kekuasaan’ saya. Kediri adalah hometown kedua saya setelah Trenggalek. Sebagian kisah masa kecil saya ada di sini, di Kandat, sebuah daerah perkebunan tebu di luar kota Kediri.
Kehidupan di Kandat sangat khas. Secara umum ini adalah wilayah pertanian dan perkebunan. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah pucuk-pucuk tebu yang melambai dengan bunyi yang gemerisik. Sebagian lain adalah lahan bertani nanas. Bermacam-macam jenis nanas bisa ditemui di sini. Saat kecil, kakak ipar saya mengajari saya banyak hal, termasuk bertanam, merawat, dan memanen nanas. Namun rupanya saya kurang memiliki talenta untuk menjadi seorang petani nanas. Nanas memiliki duri yang unik. Jika salah bergerak, dengan mudah duri itu akan menusuk kita. Saya selalu gagal untuk mencoba memanen nanas. Bahkan untuk sekedar berjalan di tengah jalur tanaman nanas, masih juga sulit menyelamatkan diri dari tusukan duri. Dan begitulah, saya akhirnya menjadi orang IT, bukan seorang petani nanas.
Selain nanas, kebun tebu juga sangat eksotis. Kenangan terbaik adalah saat mengirim makanan ke para pekerja di lahan tebu di pagi hari. Sorot matahari menerobos kerimbunan, dan terpancar bening pada embun yang menempel di ujung dedaunan tebu.
Di Kediri pula, saya mendapatkan pengetahuan tentang dasar-dasar merawat ayam bangkok. Sebuah ilmu yang sering saya sebut sebagai ‘undocumented knowledge’. Pengetahuan itu tak pernah tercatat, dan turun temurun diwariskan dalam bentuk ajaran dari mulut ke mulut.
Insya Allah, saya tidak menyukai judi dengan segala bentuknya. Tetapi soal kecintaan dan kekaguman saya terhadap ayam bangkok, tak perlu ditanya lagi. Hasil menyerap ilmu ‘per-ayam-an’ dari berbagai sumber, yang lalu saya lanjutkan saat saya bergaul dengan komunitas penggemar ayam di Samarinda, telah membuat saya membangun sebuah blog tentang ayam bangkok. Saya buat di tahun 2006, blog tersebut masih ramai dikunjungi orang, walau saya sudah sangat jarang menengok dan melakukan update.
Pelan-pelan kami memasuki kota Kediri. Sebelumnya secara berurutan kami melewati Mojokerto, Jombang, dan Kertosono. Kediri adalah kota dengan sejarah panjang. Di kota ini pernah bertahta seorang raja yang luar biasa yang bernama Prabu Jayabaya yang ramalannya tentang kondisi Nusantara terbukti beratus tahun kemudian.
Kami berputar sebentar di kota Kediri, masuk ke salah satu pusat perbelanjaan. Menjelang sore, kami meluncur ke Kandat. Saya tidak memberitahu kakak saya kalau saya akan datang. Sampai di Kandat, sekira 2 km dari rumahnya, saya menelpon. Tentu saja ia kaget.
Saya lima bersaudara. Kakak tertua, pria, sudah meninggal dunia. Dan yang di Kediri ini adalah kakak kedua, perempuan. Mbak Um, kakak saya ini, waktu mudanya sangat suka olahraga. Orangnya tidak bisa diam. Dan sepertinya kakak saya menemukan kehidupan yang ia cari. Tinggal di rumah dekat dengan kebun dan ternak. Rumahnya sendiri dibangun di tanah seluas kurang lebih satu hektar. Di belakang rumah ada beberapa kolam ikan lele dan nila, peternakan ayam, bebek, dan angsa. Di bagian lain ia berkebun untuk tanaman keperluan sehari-hari. Jadi tanpa belanjapun kebutuhan memasak bisa ia dapatkan dari belakang rumah.
Anak-anak langsung
lepas. Mereka berebut melihat kolam ikan dan kandang unggas. Si Bayu sejak kedatangan sudah punya musuh. Seekor angsa gendut sejak awal telah menarik perhatiannya. Dan di sisa sore itu, ia sibuk mengganggu angsa itu. Mengejarnya, lalu berbalik lari saat angsanya menhadap ke dia.
Esok harinya, Bayu terus mengganggu angsa tersebut. Hingga akhirnya nampak sekali kalau angsa itu kelelahan. Lalu kakak saya mengusulkan kalau angsanya dipotong saja untuk buka dan sahur. Usul itu tentu saja langsung saya dukung. Sejak awal saya memang tertarik pada kemontokan tubuh angsa itu.
Dan demikianlah, kami berlima lahap buka puasa dengan daging angsa gendut. Ada yang digoreng dan sebagian lain dimasak dengan kuah. Bahkan hingga sahur, daging angsa di meja makan masih berlimpah. Keluarga kakak saya mungkin sudah bosan dengan unggas, jadi memilih menu yang lain.
Hari kedua di Kediri sebenarnya bertepatan dengan hari istimewa, hari kemerdekaan Republik Indonesia dan pas jatuh di hari Jumat. Namun, barangkali karena pas bulan puasa, maka tidak terlihat gegap gempita acara 17-an yang biasanya marak di kampung-kampung. Momen istimewa justru saat sholat Jumat. Sudah lama sekali bagi saya dan tentu saja terasa asing bagi anak saya, mendengarkan khotbah Jumat dalam bahasa Jawa. Ingatan saya lantas terlontar ke masa suasana Kandat berpuluh tahun silam, saat saya masih kecil. Pengalaman menjalani bulan puasa dan tarawih di masjid Karangrejo.
Kediri terkenal sebagai kota santri, karena begitu banyaknya pondok pesantren di daerah ini. Baik yang salafiyah, ashriyah, maupun kombinasi. Jika semua dihitung termasuk yang kecil-kecil, jumlahnya bisa lebih dari seratus pondok pesantren. Yang besar dan terkenal antara lain pondok pesantren Lirboyo dan pondok pesantren Jampes. Namun, seperti halnya daerah lain di perkampungan Jawa, masyarakat lokal umumnya juga sangat memegang teguh ajaran dan budaya leluhur. Dalam hal tertentu, paduan ini sebenarnya sangat eksotik. Mungkin tidak dalam konteks dan penggambaran seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang dalam penelitiannya tahun 1953-1954 yang menyebut kelompok dengan kondisi itu sebagai “Islam Abangan”. Saya lebih melihatnya sebagai bentuk yang mirip dengan kisah ketika Kanjeng Sunan Kalijaga menggunakan budaya dan kearifan lokal sebagai media dakwah. Islam yang rahmatan lil ’alamin, Islam yang meneduhkan untuk seluruh alam. []