Suatu hari saat istirahat, saya berbincang dengan manager accounting. Di tangan saya ada selembar print-out artikel dengan tema “Lebih dari 70% implementasi ERP di Indonesia GAGAL!”. Dengan sama-sama kelelahan dalam proyek ERP ini, kami berdiskusi tentang satu pertanyaan : “kita berhasil apa gagal ya?”.

Saya menunjukkan salah sebuah topik yang juga jadi salah satu obyek diskusi di salah satu milis ERP, bahwa sebenarnya belum ada alat ukur yang sempurna untuk menilai keberhasilan ERP. Kalangan praktisi perusahaan dan para akademisi punya pandangan yang agak berbeda. Dan sementara biarlah itu menjadi urusan mereka, yang kita perlukan sekarang adalah melihat apa kita sudah mendapatkan manfaat.

Apakah ini suatu hasil, yang jelas beberapa rekan di satu departemen telah bersalaman dengan kami kemarin. Salam untuk pamit, sebab sejumlah pekerjaan yang semula harus dikerjakan sekian orang ternyata bisa dihandle oleh satu dua orang. Manager Produksi bisa cepat komplain karena dia bisa tahu persis dari monitornya bahwa pihak Logistik agak lambat mencari barang. Dan pagi ini, Expense Request saya ditolak Accounting karena ternyata di pos itu saya sudah kehabisan budget. Yah, senjata makan tuan nih!

Lalu, di akhir perbincangan, kami menyepakati satu hal. ERP itu sebuah investasi, setiap investasi ROI-nya seringkali perlu waktu untuk dinikmati. Dan salah satunya adalah job culture. Budaya kerja! Di modul financial, kita tetapkan bahwa setiap pos dalam satu tahun sudah harus dianggarkan di awal tahun. Ada kebiasaan yang sedang ditanamkan bahwa kita harus punya plan biaya sedetil mungkin untuk satu tahun ke depan. Jika tidak sesuai plan, sekecil berapapun nilai rupiahnya, harus approval BOD. Nah, kami berkeyakinan sekian tahun lagi kebiasaan ini akan menjadi semacam budaya kerja. Dan bahkan jika misalnya modul ERP-nya dibuang, boleh jadi budaya itu masih melekat. Dan ini mungkin salah satu Return of Investment-nya. []