Menjelang Baratayuda, ada satu peristiwa kecil yang nyaris tak dibahas dalam kisah pedhalangan, namun memiliki makna sangat penting. Itu adalah keputusan Prabu Baladewa untuk tidak terlibat dan memilih untuk madeg pandhita. Mengejutkan. Sebab raja Mandura itu sejak masih remaja dan besar di Widarakandhang, terkenal sangat menyukai perkelahian. Bahkan ketika sudah menjadi raja, ia tetap menyukai penyelesaian masalah secara jantan dengan adu kanuragan.
Alasan Prabu Baladewa memilih minggir tak banyak diulas, kecuali tercatat bahwa ia telah dibujuk oleh Prabu Kresna adiknya. Tapi saya memiliki beberapa dugaan. Prabu Baladewa telah mengalami kesedihan yang luar biasa dalam. Betapa hancur hatinya menyaksikan rakyat Astina dan Amarta yang sedang berseteru dengan tanpa kehormatan. Betapa ia menyaksikan orang-orang, para sahabat dan kerabatnya tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang lain. Sosok yang penuh diliputi hawa nafsu. Apakah hawa nafsu kekuasaan? Bukan. Ini bukan nafsu jenis itu. Nafsu kekuasaan itu mudah dikenali dan mudah dilihat. Nafsu yang baru ini remang-remang, membingungkan, tapi sangat mengerikan. Nafsu yang menghadirkan kepuasan ketika mampu mencela, mengolok, menghina, dan memaki orang yang tidak segolongan. Setiap saat yang dilakukan adalah mencari-cari saat orang yang dibencinya melakukan kesalahan laku dan lidah, lalu menjadikannya bahan cemooh dan umpatan dengan lebih mengerikan. Seolah saat itu lenyap segala kesantunan pribadi yang telah dipupuk bertahun.
Saya memahami keputusan Baladewa. Memakluminya ketika ia memilih madeg pandhita, dan mencoba mengajarkan sedikit kebaikan semampunya dalam sisa hidupnya.