Saya mengaguminya, bahkan berpikir ia adalah role model bagi muslimah tanah air. Lihatlah catatan perjalanan hidupnya. Pelajar teladan tahun 1974, mahasiswa teladan tahun 1979, sarjana komunikasi Unhas, master komunikasi di American University, bekerja di BPPT, meraih PhD komunikasi internasional di American University dengan predikat lulusan terbaik, tokoh ICMI, anggota parlemen, peneliti di UNESCO dan World Bank. Betapa mengagumkan.

Lalu di puncak pencapaiannya, entah ada angin apa yang menghampiri dan menggerus rasionalitasnya, ia menjadi pengikut pria yang dipujanya dengan panggilan yang mulia, karena pria itu diyakininya secara gaib mampu menggandakan uang. Bahkan ia bersedia menjadi Ketua Yayasan dari kelompok itu. Uang? Menggandakan atau menghadirkan secara gaib?

Uang itu konon telah dibawa ke bank dan semuanya asli. Artinya punya nomor seri yang jelas. Tidakkah ia berpikir uang itu berasal darimana, siapa pemilik sebelumnya. Atau misalnya saja si Kanjeng ini mampu menghadirkan emas, bukan uang. Emas murni yang tiba-tiba berbongkah-bongkah di halaman padepokannya. Apakah memang harga diri dan martabat sebagai manusia terhormat akan rontok seperti daun kering hanya karena harta yang menyilaukan? Barangkali ia lupa bahwa makna Marwah itu adalah kehormatan diri. Juga barangkali di tengah tumpukan buku literaturnya yang luar biasa, ia telah lupa belajar bahwa seorang sufi mulia bahkan tidak akan pernah menyebut dirinya dengan gelar-gelar keduniawian seperti tukang jamu di pinggir jalan.