Dulu, kita sering merasa pilu, dan meneteskan airmata menyaksikan sebagian saudara-saudara kita di Afrika yang hidup dalam kemiskinan. Gambar orang kelaparan, anak-anak dekil dan kurus kering dengan tatap mata yang kosong. Kini, dengan gambar yang beda, suka atau tidak, kitalah yang sedang menjadi barang tontonan. Demi mendapat uang 30 ribu rupiah, 21 nyawa melayang karena berdesakan. Di lain tempat, seorang bapak memilih mengakhiri hidup karena tidak mampu membelikan baju lebaran anaknya. Sebelumnya, kita juga dibuat pilu dengan anak sekolah yang mencoba mengakhiri hidup karena tidak mampu membayar uang sekolah.

Angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering di-klaim oleh pengurus negara, tak mampu menutupi kenyataan bahwa semakin hari kesenjangan semakin melebar. Angka 30 ribu rupiah, bagi sementara orang adalah harga satu porsi makanan, tetapi pada kelompok lain, ini mungkin juga hanya cukup untuk satu porsi minuman.

Konversi “subsidi BBM” (benarkah subsidi?) ke bentuk Bantuan Langsung Tunai, diharapkan mampu membantu daya survival dari masyarakat pada titik lapis bawah. Tetapi pola ini ternyata seperti menaruh besi berani pada sekumpulan paku berkarat di tumpukan pasir. Tanpa sadar, kita sedang melaksanakan pertunjukan kemiskinan. Masyarakat yang berbondong datang demi sejumlah 300 ribu rupiah adalah potret suram bahwa mewujudkan masyarakat yang adil makmur loh jinawi itu memang masih berupa impian. Lebih mengenaskan lagi jumlah paku berkarat yang tersimpan di dalam pasir ternyata jauh lebih banyak dari hitungan semula.

Maka di dalam acara televisi tentang kemiskinan, kita ternyata ada di layar kaca. Dan orang-orang di seoluruh dunia sedang menonton dan mengelus dada untuk kita. []