Kebenaran Tak Cukup Berhenti Pada Lingkar Pribadi
Pria itu mengendarai mobil bersama istri dan anak-anaknya. Hari cerah. Setelah seminggu dihajar pekerjaan, ia ingin bersantai bersama keluarga. Ia sedang di jalan kota menuju ke arah luar kota. Di jalan itu, kecepatan tertinggi yang diperbolehkan adalah 60 km/jam. ia ingin aman dan nyaman, karenanya ia berkendara 30 km/jam. Ia mengambil posisi yang aman, tidak terlalu ke kanan, tidak pula terlalu ke kiri. Perjalanan yang menyenangkan. Benarkah demikian? Dua mobil di belakangnya nampaknya senada dengan pria itu. Mungkin sedang ingin santai. Tapi lihatlah di belakang mereka, rupanya telah berderet belasan bahkan puluhan mobil yang berjalan beriring. Padat merayat, macet. Pada urutan mobil yang ke-15, bahkan sopir kendaraan pasrah, tak tahu penyebabnya dan mengira sedang ada masalah besar di depan sehingga harus macet.
Pria di mobil paling depan itu tak melanggar apapun. Namun kebenaran tak cukup berhenti pada lingkaran pribadi. Pria itu hanya melakukan kekeliruan kecil, namun sangat serius, yaitu ia telah abai pada kepentingan orang lain. Andai ia menyadari, maka ia punya dua pilihan. Menambah kecepatan kendaraan, atau mengambil jalan agak ke tepi, sehingga cukup bagi kendaraan di belakangnya untuk mendahului. Posisinya yang di tengah-tengah, tanpa sadar tak memberi kesempatan bagi kendaraan untuk mendahului. Di belakangnya yang belasan hingga puluhan mobil itu, boleh jadi banyak bertumpuk kepentingan orang lain. Ada yang hendak berobat, hendak mencari kamar kecil untuk buang hajat, dan sejumlah kebutuhan lain yang kita tidak tahu.
Kebenaran tidak cukup dibangun pada lingkaran pribadi. Jika kita tidak memarkir kendaraan pada tempat yang terdapat rambu dilarang parkir, maka kita adalah orang yang patuh pada aturan. Baru sebatas itu. Namun jika kita memarkir kendaraan di tempat yang benar, lalu sebelum meninggalkan kendaraan meluangkan waktu untuk memastikan apakah posisi parkir kita akan mengganggu orang lain, melipat spion atau apapun, itu artinya kita sudah memikirkan kepentingan orang lain. Dan itu tingkatan yang lebih baik dari sekedar patuh pada aturan. Contoh ujian adalah ketika seseorang datang ke pusat perbelanjaan paling awal, dan menjumpai tempat parkir sangat lapang, apa yang ia lakukan? Pada petak yang cukup untuk tiga kendaraan, seperti apa ia akan parkir? Mungkin ia akan memarkir secara aman, tidak terlalu dekat tiang agar nyaman untuk keluar masuk kendaraan. Tapi tanpa sadar ia telah memakan hak orang lain. Dengan cara demikian, maka di petak yang mestinya cukup untuk tiga kendaraan, menjadi hanya cukup untuk dua kendaraan. Dan siang itu, seorang pengunjung lain telah kehilangan haknya untuk dapat parkir.
Tuhan menciptakan manusia dalam kelompok jenis makhluk sosial. Tak ada manusia yang sedemikian mandiri sehingga sama sekali tak perlu peran orang lain dalam hidupnya. Dalam agama juga diatur jelas bagaimana hubungan manusia dengan sang Khalik, dan hubungan sesama manusia. Dan sesungguhnya pedoman untuk hubungan sesama manusia itu sangatlah sederhana dan universal. Bunyinya adalah, jika anda tidak nyaman dengan suatu perlakuan orang lain ke anda, maka jangan pernah lakukan hal yang sama ke orang lain. Jika anda tidak menyukai seseorang meludah di depan anda, entah sengaja atau tidak, maka seberapapun mual mulut anda, setiap akan meludah selalu pastikan bahwa tidak ada seorangpun yang akan terganggu. Jika anda tidak menyukai ketika seseorang membuang sampah dari dalam mobil di depan anda, maka anda harus menjamin bahwa seluruh orang yang ada dalam mobil anda tidak akan melakukan hal yang sama.