Game Online: Melawan atau Berdamai?
Seorang ibu di Kediri terperanjat ketika ia tiba-tiba harus membayar sejumlah tagihan dengan total sekitar 11 juta rupiah akibat anaknya bermain game online.
Sebagai orang IT, saya sepakat bahwa kecanduan game online itu sangat buruk. Poinnya adalah pada kata “kecanduan”. Kecanduan apapun selalu buruk. Tak hanya kecanduan game online, atau narkoba. Bahkan kecanduan film Korea atau sinetron India pun bisa buruk juga. Intinya jangan kecanduan apapun.
Di luar itu, sebenarnya saya melihat ada permasalahan lain yang lebih mendasar, yaitu soal perubahan. Zaman telah berubah. Saya takut, penolakan secara membabi buta akan seperti persoalan ketika angkutan online hadir. Perlawanan yang sia-sia. Seperti juga ketika media konvensional mencoba melawan media online. Ini adalah perang melawan perubahan, dan kecil peluang kita untuk menang.
Lalu, apakah artinya kita harus pasrah menyerah? Tentu tidak. Yang terbaik adalah berdamai, lalu memilih cara yang tepat dan bijak dalam proses perubahan. Sudah tidak mungkin kita memaksa anak-anak itu untuk bermain seperti zaman kita dulu. Menggunahan pecahan genting, bermain dalam aneka gerakan mengikuti garis yang kita gambar di atas tanah. Atau menyeret mobil yang terbuat dari kulit jeruk bali. Zaman telah berubah.
Langkah awal terbaik, mari kita mengenalinya. Setelah itu, keputusan apapun ada di kita, tapi apapun sudah berdasarkan pertimbangan yang adil.
Saya yakin tidak banyak orang tua yang paham beberapa informasi kecil berikut:
Saat kita memaksa anak kita berhenti saat itu juga saat bermain MOBA seperti ML (Mobile Legend) atau AOV (Arena of Valor), maka ia akan menerima beberapa hukuman sekaligus. Pertama hukuman dari kita, kedua ia akan dihukum oleh sistem karena melakukan perilaku AFK, ketiga ia akan mendapat hukuman sosial dari teamnya karena telah berlaku tidak sportif. AFK (away from keyboard) sebenarnya istilah lama sejak game masih dimainkan di PC, ketika seseorang meninggalkan permainan saat sedang berlangsung. Apa masalahnya? Oh, serius. Dalam sebuah team battle yang imbang, hilang satu pemain itu artinya menghancurkan seluruh strategi yang telah dibangun. AFK adalah pelanggaran etika sangat serius dalam permainan online. Dan dalam bermain game online juga diperlukan banyak etika baik. Misalnya, etika untuk tidak menghabiskan monster sendiri dan membaginya ke rekan tim yang butuh menambah buff, membantu teman yang terdesak di lane lain, fokus pada kerjasama team untuk mencapai kemenangan bersama.
Pada gelaran Asian Game 2018, walau masih bersifat eksebisi, game AOV dipertandingkan dalam kategori eSport. Apa pula eSport ini, wong cuma pencet-pencet HP saja kok dianggap olah raga. Pertanyaan yang wajar, tapi jika anda berlaku adil seharusnya sejak lama anda menggugat mengapa permainan catur begitu dihargai. Padahal hanya memindahkan buah catur dalam kotak permainan belang-belang begitu saja. Jika catur adalah olahraga otak yang rumit, eSport juga tidak kalah rumit. Pemain harus memilih karakter Hero yang tepat sesuai gaya permainan yang dia sukai, memikirkan strategi penyerangan terbaik dan lebih dari itu harus memikirkan kerjasama team secara cermat untuk bisa meraih kemenangan.
Lalu bagaimana ibu di Kediri itu sampai harus menanggung tagihan sebesar 11 juta akibat anaknya bermain game online? Dalam permainan ML atau AOV, ada progress yang terus dicapai oleh pemain setiap waktu. Setiap kemenangan akan menghasilkan gold yang terus bertambah, yang pada jumlah tertentu bisa untuk membeli hero dan mendandaninya agar tampil dalam performa terbaik. Selain cara normal, ada pula cara instan, yaitu dengan membeli diamond. Nah diamond ini yang bisa dibeli dengan uang fisik, atau dilarikan ke tagihan telepon pasca bayar. Anak ibu itu baru berusia 12 tahun. Ia tentu belum paham benar tentang risiko keuangan. Pada titik inilah orang tua bisa hadir untuk memberikan pemahaman. Jika tidak, maka anak akan terus berupaya mencuri-curi kesempatan, baik kesempatan bermain game atau kesempatan untuk membeli diamond dari uang orang tuanya. Prinsipnya game online tetap bisa dinikmati tanpa harus keluar uang secara liar, walau tentu saja tetap harus ada akses online entah lewat HP atau WiFi.
Barangkali, menarik juga jika game online sesekali dimainkan dalam keluarga dengan cara yang sehat. Misalnya sebuah tim terdiri atas ayah, ibu, dan 3 anaknya. Tentu waktu harus diatur dengan ketat dan seimbang dengan kegiatan fisik di luar rumah. Secara kesehatan, risiko buruk dari kebanyakan bermain game online adalah mata yang terus menerus terpaku pada layar HP kecil, serta posisi tubuh yang statis dalam waktu lama. Perlu pemahaman yang baik tentang hal ini ke anak-anak.
Ketika orang tua juga paham permainan anak, maka dialog akan lebih cair. Misalnya, ayo makan yang banyak biar badannya kuat seperti Johnson. Ayo olahraga, biar cekatan seperti Alucard atau kekar seperti Gatotkaca. Saya sebut Gatotkaca bukan mau bercerita tentang wayang. Sejak tahun 2017, lewat sebuah riset akhirnya diciptakanlah tokoh Gatotkaca sebagai salah satu Hero dalam Mobile Legend. Memang dalam Mobile Legend, Hero juga diciptakan dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Contohnya ada Sun Go Kong, yang muncul dari tokoh si monyet emas dalam kisah Journey To The West dari Tiongkok.
Zaman dulu, anak-anak bermain dalam lingkungannya. Lalu seiring dengan bertambahnya pergaulan, ia bisa bermain bersama anak-anak kampung sebelah. Entah sebagai teman atau sebagai lawan. Zaman sekarang, permainan anak-anak tanpa sekat jarak dan waktu. Bisa saja seorang anak yang sendirian pegang HP, ia sebenarnya sedang menikmati permainan bersama anak-anak dari kota lain atau negara lain yang sangat jauh. Bagaimana dengan ungkapan dan kata-kata kasar yang sering muncul dalam game online? Sebenarnya sama saja. Dulu, saat main di kampung juga mungkin saja ada lawan atau teman sepermainan yang suka bicara kasar dan tidak sopan. Pada titik inilah orang tua memang harus hadir. Anak akan tangguh jika dibekali dengan baik, bukan sekedar menjaganya seperti gelas kaca, yang saatnya nanti akan mudah pecah.
Bagaimanapun, zaman terus berubah. Menurut saya, alih-alih menolak dan melawannya nampaknya lebih bijak jika kita sebagai orang tua mengenal dan memahaminya dan akhirnya bisa menentukan cara pendekatan yang paling tepat dan bijaksana untuk berdamai dengan perkembangan zaman.