Seusai badminton, saya memilih jalur kiri, arah Lembuswana. Melewati ujung jalan Pramuka, jalan sebelah kanan ditutup, hanya menggunakan jalur kiri. Mendekati Robinson, tampak konsentrasi massa cukup padat. Tunggu, ini sudah lewat tengah malam. Apakah ada keributan? Kriminal tentu ada di kota ini, tapi kerusuhan massal tak pernah terjadi. Setidaknya tak pernah meluas. Ternyata memang ada keributan. Tapi bukan kerusuhan. Keributan dari semacam festival beduk Ramadhan. Saya dihentikan polisi. Saya pikir ada yang salah. Ternyata, ada sejumlah rombongan peserta yang menyeberang jalan. Cukup meriah. Saya menikmati sesaat sebelum akhirnya meluncur ke arah fly over Air Hitam. Teringat pesanan istri, saya lurus ke Juanda. Ke tempat ronde langganan. Ternyata di sebelahnya kini ada tenda menjual nasi gandul. Tak tahan, saya pesan juga. Sambil menunggu ia menyiapkan, saya mengobrol dengan si mas penjual nasi gandul ini. Ia buka sejak jam 4 sore hingga subuh. Oh, kini kotaku tak akan pernah berhenti berdenyut. Duapuluh empat jam kehidupan akan terus berdenyar. Sebelum subuh, jalanan sudah akan ramai oleh pedagang yang menyerbu Pasar Segiri lalu disusul Pasar Pagi. Tiba-tiba saya terkenang suasana lebih 20 tahun lalu. Betapa sepi daerah Juanda ini saat malam. Malam-malam kami para bujangan adalah tempat bilyar di jalan Nahkoda, Pelabuhan, dan Dermaga. Tanggal muda, saat dompet masih mengganjal, kami bisa memilih nonton ke Mahakama atau ke Parahyangan. Jika mulai menipis, kami bisa ke misbar di Wisma Citra. Jika lebih tipis lagi, masih ada pilihan bioskop di Antasari atau ke Samarinda Seberang. Kini gedung bioskop makin modern dan mahal. Tak lagi soal film bagus. Sebab film-film bagus telah berduyun datang ke rumah lewat kanal IndiHome. Ah, kota kecil ini terus berbenah. Saat mulai berpikir untuk tinggal di tempat lain, ia terus berdandan menggoda. Agar cinta kepadanya makin lekat.