Karya: Y. Wibisono
pertemuan kita, Shella
seperti sebaris rumput kering yang tersaput embun
lalu memudar ketika mentari menampakkan sinar
berceritalah tentang apa saja
apapun itu adalah tak penting untukku
sebab aku terlalu sibuk
menghitung setiap ruas bulu matamu
juga sebentuk bibirmu yang kulukiskan
bagai bilahan rona mawar di taman yang basah
dan jalan terjal berbatu ini
hanyalah permadani indah yang kulangkahi
sebab genggam tanganmu mengalirkan kehangatan
dan menusuk terdalam
keringnya hati perantau seberang
jangan pernah paksa aku memilih
adakah, adakah yang terindah
bunga rumput liar yang bermahkota embun,
nyanyian murai yang menari di dahan jati
atau, gerai rambut hitammu yang dimainkan angin?
lalu akupun belajar menyimak
nyanyian hati yang kaukirimkan
lewat dua mata bening itu
malam ini, gadis
sepanjang perjalanan
kita hidupkan rindu
di antara gundukan-gundukan batu
seperti juga pagi
yang kerap enggan menjadi siang
maka akupun menyesali bergegasnya mentari
juga cendawan jingga yang perlahan meremang
membubung keperakan di puncak merapi
lalu demikianlah, kita sepakat menitipkan
satu dua kenangan di sana
ketika mentari sepenggalah
kitapun segera beranjak dari mimpi
menyadari jarak yang terentang
di antara bukit-bukit di puncak merapi
juga jarak yang perlahan tercipta
di antara hati kita
yang galau mengeja
satu kata: perpisahan!
Samarinda, 26 Oktober 2004
[Puisi ini adalah satu upaya kolaborasi dalam penerjemahan cerpen ke bentuk puisi. Sebuah cerpen dengan judul yang sama telah dibuat oleh kawan Aulia Muttaqin]