Saya tidak mengenal dekat seorang Saut Situmorang. Hanya satu waktu pernah berkomunikasi, bang Saut mengajak berdiskusi tentang buku apa yang hendak kami pilih sebagai hadiah. Di satu ajang komunitas sastra tahun 2004, puisi bang Saut yang berjudul Cinta Dalam Retrospektif Alkohol Akhir Tahun menjadi jawara, sementara puisi saya Kontradiksi Aku-Han menjadi runner up. Setelah itu tak pernah berkomunikasi.
Bang Saut seorang penulis besar. Saya hanyalah tukang IT yang sesekali menulis puisi. Tapi tentu, saya selalu mencoba mengikuti dari jauh apa yang dilakukan oleh para penulis dan penyair yang saya kenal.
Bang Saut orang lugas, tulisan ataupun bicaranya selalu lugas. Bagi sementara orang akan terasa kasar. Namun, saya memahaminya seperti ketika dulu saya kuliah di Malang atau bergaul di Surabaya, ketika kata-kata tertentu seperi jancuk tidak selalu berarti makian atau kotor. Yang tersirat tak selalu seperti yang tersurat.
Lalu tiba-tiba ada kabar bang Saut dijemput 3 polisi di rumahnya di Yogya, dibawa ke Jakarta. Ah, kelugasan bang Saut dalam berbicara boleh jadi bukan pilihan menarik bagi orang tua dalam mendidik kesantunan anaknya. Tapi bagi saya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh adalah sebuah dosa besar. Sebuah kedustaan yang sulit diterima. Kedustaan yang akan meninggalkan luka panjang sejarah bagi beberapa generasi setelah kita.